Isrā’ dan Mi’rāj 27

IKHTISAR

Isrā adalah sesuatu yang gugur iman seseorang jika ia tidak meyakini kejadiannya. Para ulama sepakat dalam masalah ini karena tegasnya Allah menyatakan kejadiannya dalam surat al-Isrā ayat 1.

Adapun tentang Mi’rāj, banyak ulama menilai bahwa kejadiannya disebutkan Allah dalam surat An-Najm, ayat 5-18. Namun, segelintir ulama lain menilai bahwa surat dan ayat tersebut tidak berbicara tentang Mi’rāj. Karena itu, mereka tidak menilai kafir orang yang tidak meyakininya, tetapi “hanya” menilainya berdosa. 

Perlu diingat bahwa riwayat-riwayat berkaitan dengan Isrā dan Mi’rāj sangatlah banyak, beraneka ragam, dan bercampur antara yang shahih dan yang tidak shahih. Diperlukan penelitian mendalam para pakar hadits untuk memilahnya. Kita dapat membatasi rincian tentang Isrā dan Mi’rāj dengan menggunakan dua sumber yang paling terpercaya, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Berkaitan dengan Isrā, Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika aku didustakan oleh masyarakat Quraisy (Mekkah), aku berdiri di depan al-Hijr (Ka’bah), lalu Allah menampakkan kepadaku Baitul Maqdis. Maka aku meyampaikan kepada mereka (keadaannya) sebagaimana kulihat.”

Adapun berkaitan dengan Mi’rāj, pokok-pokok riwayat Bukhari dan Muslim adalah sebagai berikut:

  1. Pembedahan dan penyucian hati Nabi saw. dan pemenuhannya dengan iman.
  2. Disiapkannya untuk beliau sebuah kendaraan yang lebih kecil dari kuda dan lebih besar dari baghal bernama Burāq yang langkahnya sejauh matanya memandang.
  3. Jibril mengantar beliau dengan kendaraan itu dari langit pertama sampai langit ketujuh.
  4. Beliau bertemu dengan Nabi Ādam as. di langit ke-1, Nabi Yahyā as. dan ‘Īsā as. di langit ke-2, Nabi Yūsuf as. di langit ke-3, Nabi Idrīs as. di langit ke-4, Nabi Hārūn as. di langit ke-5, Nabi Mūsā as. di langit ke-6, dan Nabi Ibrāhīm as. di langit ke-7.
  5. Beliau diantar Jibril ke Sidrah al-Muntahā. Di sana terdapat 4 sungai: 2 diantaranya sungai Nil dan Eufrat dan 2 lainnya sungai surgawi.
  6. Setelah itu, beliau menuju ke al-Bait al-Ma’mūr. Lalu, seperti sabda Nabi saw., “Aku diberi pilihan tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu. Maka kupilih susu.” Jibril pun berkata: “Inilah fitrah yang diwajibkan kepadamu dan kepada umatmu.”
  7. Turunnya kewajiban shalat 50 kali sehari semalam. Dalam perjalanan pulang, beliau bertemu kembali dengan Mūsā as. yang kemudian menyarankannya memohon keringanan kepada Allah atas kewajiban itu. Nabi saw. menjalankan saran itu, memohon keringanan shalat. Allah mengabulkannya dengan mengurangi jumlah shalat menjadi 45 kali. Mūsā as. kembali menyarankan beliau memohonan keringanan. Demikianlah Nabi saw. berkali-kali menjalankan saran itu sehingga jumlah shalat pun menjadi 5 kali. Mūsā as. masih memberi saran yang sama, namun beliau menjawab, “Aku telah memohon kepada Allah berkali-kali sehingga malu. Aku rela menerima itu.” Ketika dalam perjalanan pulang, beliau mendengar suara yang menyatakan: “Telah Kutetapkan kewajiban yang Kubebankan dan telah kuringankan buat hamba-hamba-Ku.”

Selain apa yang tersebut di atas, banyak riwayat yang menginformasikan rincian lain kejadian ini, baik pada saat perjalanan Isrā maupun Mi’rāj. Aneka riwayat itu masih patut diteliti keshahihannya. Dalam perjalanan Isrā, Nabi saw. melihat, menurut aneka riwayat itu, antara lain:

  1. Dunia dan kehidupannya seperti wanita tua yang buruk.
  2. Iblis sebagai seseorang yang menelusuri jalan menyimpang.
  3. Mujahidin sebagai kelompok orang yang menanam dan memetik dalam waktu singkat.
  4. Pada penyulut fitnah sebagai orang-orang yang menggunting lidahnya sendiri.
  5. Pemakan riba berlomba memakan daging busuk dan meninggalkan daging segar.

Sementara itu, dalam perjalanan Mi’rāj, Nabi saw. melihat, masih menurut aneka riwayat itu, antara lain:

  1. Malaikat penjaga neraka bernama Malik tidak tersenyum dan bahwa Jibrik berkata kepada Nabi saw., “Seandainya dia bisa tertawa, niscaya dia akan tertawa kepadamu.”
  2. Baitul al-Ma’mur yang berada di langit ke tujuh dan merupakan ka’bah penduduk langit, didatangi oleh 70 ribu malaikat. Mereka beribadah, lalu meninggalkannya, dan tidak kembali lagi.
  3. Sidratul Muntahaa yang keindahannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Demikian pula surga, neraka, dan ‘arsy (Singgasana Tuhan).

Sekalipun terdapat banyak sekali riwayat yang beraneka ragam tentang Isrā dan Mi’rāj, dengan derajat keshahihan yang berbeda-beda, semua ulama sepakat bahwa saat itulah shalat lima kali sehari semalam disyari’atkan. Sebelumnya shalat hanya diwajibkan dua kali sehari: pagi dan petang.


Disarikan dari Membaca Ulang Sirah Nabi saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab.

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2020/03/21/isra-dan-miraj-27/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 26

PENUTUP

Orang-orang pun menuduh Nabi saw. (telah melakukan) sihir. Mereka berkata, “Benarlah al-Walīd!” (yaitu al-Walīd Bin al-Mughīrah, orang yang pertama kali menyatakan bahwa Nabi saw. adalah seorang penyihir).

Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi pun menurunkan (wahyu-Nya):

“Dan, Kami tidak menjadikan mimpi yang kami telah memperlihatkannya kepadamu (pada malam isra’ itu atau malam lainnya), melainkan sebagai ujian bagi manusia,” (QS. Al-Isra’ 17:60).

Tuntaslah kisah (Isrā’ dan Mi’rāj) ini, diiring pujian untuk Allah karena pertolongan-Nya.

Allah, semoga, mencurahkan shalawat kepada junjungan kita, Muhammad, pula kepada keluarga dan sahabat beliau, serta melimpahi mereka keselamatan sebanyak-banyaknya.

Segala puji bagi Allah, Tuhan Pemelihara semesta alam.

TAMAT.

———-

Ya, Allah.

Berkahilah kami di sepanjang bulang Rajab ini, juga di sepanjang bulan Sya’bān, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhān, serta wujudkanlah harapan-harapan kami.

Dengan rahmat-Mu, Oh Allah, Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pelimpah kasih.

Wa shallāllāhu ‘alā sayyidinā muhammad, wa ‘alā ālihī, wa shahbihī ajma’īn.

Walhamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn.

(Bersambung ke Bagian 27)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-26/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 25

SIKAP ABU JAHAL DAN PENDUDUK MEKKAH

Menjelang subuh, Nabi saw. menemui sahabat-sahabat beliau di Makkah. Setelah subuh menjelang, beliau diam dan sadar bahwa orang-orang akan mendustakannnya. Maka, duduklah beliau dengan sedih.

Kemudian, melintaslah Abu Jahal, sang musuh Allah, di hadapan beliau. Ia menghampiri, duduk ke dekat beliau, lalu bertanya, “Adakah sesuatu (yang menjadi beban pikiranmu)?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia bertanya, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Aku telah diperjalankan (Allah) tadi malam.” Ia bertanya, “Ke mana?” Beliau menjawab, “Ke Bait al-Maqdis.” Ia berkata, “Kemudian, engkau telah kembali bersama kami pagi ini?” Beliau menjawab, “Ya.”

Abu Jahal tak memperlihatkan diri mendustakan Nabi saw. Ia khawatir bahwa beliau akan menolak untuk bercerita jika ia mengumpulkan orang-orang.

Abu Jahal berkata, “Bagaimana menurutmu jika aku kumpulkan orang-orang dari kaummu? Apakah engkau mau menceritakan kepada mereka apa yang kau ceritakan kepadaku?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu, Abu Jahal pun menyeru, “Hai seluruh Banī Ka’ab Ibn Lu’ay, kemarilah!”

Kerumunan orang terbentuk cepat. Mereka berdatangan, lalu berkumpul di dekat keduanya. Abu Jahal berkata (kepada Nabi saw.), “Ceritakanlah kepada kaummu itu apa yang engkau ceritakan kepadaku!”

Rasulullah saw. berkata, “Sungguh, Allah telah memperjalankanku tadi malam.” Mereka bertanya, “Ke mana?” Beliau menjawab, “Ke Bait al-Maqdis.” Mereka bertanya, “Kemudian, engkau telah kembali bersama kami pagi ini?” Beliau menjawab, “Ya!”

Sebagian orang menepuk tangan, sebagian lagi mengusap-usap kepala karena ta’jub. Mereka riuh dan heran.

Al-Muth’im Ibn ‘Ādī berkata (kepada Nabi saw.), “Sebelum hari ini, segala urusan tentangmu adalah remeh, kecuali ucapanmu hari ini. Aku bersaksi bahwa engkau adalah pembohong! Kami cambuki dada-dada unta untuk pergi ke Bait al- Maqdis, sebulan (perjalanan) ke sana dan sebulan (perjalanan) pulang kembali. Engkau mengira bahwa engkau telah pergi ke sana dalam satu malam? Demi Lātta dan ‘Uzzā, aku tidak memercayaimu!”

Abu Bakar berkata, “Hai Muth’im! Buruk sekali ucapanmu kepada anak saudaramu ini! Kau cemooh dan kau dustakan dia! Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang benar!”

Orang-orang itu berkata, “Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami sifat Bait al-Maqdis itu (jika engkau, memang, pergi ke sana)! Bagaimana bangunannya? Bagaimana keadaannya? Seberapa dekat ia dari gunung (Thūr) itu? Dari kaum(mu) ini, ada orang yang pernah berkunjung ke sana!”

Maka, Nabi saw. menguraikan kepada mereka bahwa bangunannya begini, keadaannya begini, dan kedekatannya dari Gunung (Thūr) sejarak begini.

Nabi saw. terus menguraikan sifat (Baitul Maqdis itu) kepada mereka sehingga sifat (masjid itu mulai) mengabur. Muncullah pada diri beliau kesulitan yang tidak pernah ada sebelumnya. Maka, dihadirkanlah masjid itu (oleh Allah) ke hadapan beliau sehingga beliau dapat melihat mesjid itu (seolah-olah berada) sangat dekat dengan kediaman ‘Aqīl atau ‘Īqāl.

Orang-orang itu bertanya, “Berapakah jumlah pintu masjid (Baitul Maqdis) itu?” Nabi saw. tidak mengetahui berapa jumlahnya, namun beliau dapat melihat (deretan pintu-pintu)nya. Beliau menghitung satu demi satu (pintu-pintu itu), lalu menyampaikan (berapa jumlahnya) kepada mereka. Abu Bakar pun berkata, “Engkau benar, engkau benar! Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah!” Lalu, orang-orang itu berkata, “Sifat (mesjid yang engkau uraikan) itu, demi Allah, adalah benar.”

Kemudian, kepada Abu Bakar, orang-orang itu berkata, “Apakah engkau percaya bahwa dia (Muhammad) pergi malam tadi ke Bait al-Maqdis dan tiba kembali sebelum pagi?” Abu Bakar menjawab, “Ya! Sungguh, aku betul-betul memercayainya, bahkan jika dia (pergi) lebih jauh (dari itu)! Aku memercayainya atas berita langit (yang diterima dan disampaikannya) di pagi hari maupun di sore hari!” Maka, Abu Bakar pun diberi nama as-Shiddīq (yang sangat dipercaya).

Orang-orang itu, kemudian, bertanya, “Hai Muhammad, kabari kami tentang kafilah (dagang) kami?” Nabi saw. menjawab, “Aku menjumpai kafilah Bani Fulān di Ar-Rauhā’ (sebuah daerah berjarak sekitar empat puluh mil dari Madinah). Mereka kehilangan unta, lalu pergi mencarinya. Kudatangi perkemahan mereka. Namun, tak ada seorangpun di dalamnya. Ada sewadah air (di tenda mereka). Akupun minum dari wadah itu.”

“Kusambangi pula kafilah Bani Fulan di tempat ini dan ini. Ada unta merah (di kafilah itu). Di atas punggungnya, ada karung (muatan) hitam dan karung (muatan) putih. Saat (kehadiranku) mengejutkan mereka, unta itu lari terbirit dan memekik. Kafilah itu bercerai berai.”

“Kusambangi pula kafilah Bani Fulān di At-Tan’īm (sebuah daerah yang sudah dekat dengan Makkah) yang dipimpin oleh seekor unta abu-abu. Di atas punggungnya, ada permadani hitam dan dua karung (muatan) berwarna hitam pula. Inilah Kafilah yang akan tiba menemui kalian dari arah Tsaniyyah.” Mereka bertanya (kembali), “Kapan (kafilah lainnya) tiba?” Beliau menjawab, “Hari Rabu.”

Saat hari itu tiba, orang-orang Quraisy naik ke tempat-tempat tinggi, menanti (kedatangan) kafilah tersebut. Siang menjelang, namun kafilah itu tak kunjung tiba. Nabi saw. berdoa.

Ketika siang terus bertambah dan matahari terus meninggi, muncullah kafilah tersebut.

Orang-orang mengamati unta (di kafilah) itu, lalu bertanya, “Apakah kalian kehilangan unta (betina) kalian?” Mereka menjawab, “Ya!” Orang-orang bertanya kepada kafilah lainnya, “Apakah kalian bercerai-berai oleh unta merah kalian?” Mereka menjawab, “Ya!” Orang-orang bertanya, “Apakah kalian memiliki sewadah air?” Seorang pria (dari rombongan itu menjawab), “Aku, demi Allah, sudah menaruhnya. Tidak ada seorangpun dari kami meminumnya, tidak pula ia ditumpahkan ke tanah!”

(Bersambung ke Bagian 26)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-25/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 24

KEMBALI KE DUNIA

Nabi saw. tak melewati sekelompok malaikat kecuali mereka berpesan, “Hendaklah engkau berbekam.”

Dalam riwayat lain, (para malaikat yang dilewati Nabi saw. selalu berpesan), “Perintahkanlah umatmu berbekam.”

Nabi saw. kembali turun. Kepada Jibrīl, beliau bertanya, “Aku tidak bertemu dengan seorangpun penghuni langit selain mereka menyambutku dan tersenyum kepadaku kecuali seorang: kuucapkan salam kepadanya, ia membalas salamku, lalu menyambutku dan mendo’akanku, namun tak sekalipun ia tersenyum kepadaku.”

Jibrīl menjawab, “Dialah Malik, malaikat penjaga neraka. Malik tak pernah tersenyum sejak ia diciptakan. Andai ia (bisa) tersenyum kepada seseorang, dia pasti tersenyum kepadamu.”

Setelah Nabi saw. turun ke langit dunia, beliau melihat ke bagian bawahnya. Di sana, ada gumpalan-gumpalan awan dan (terdengarlah keriuhan) suara-suara.

Nabi saw. bertanya, “Apakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah syetan-syetan yang sedang menggelayuti mata-mata keturunan Ādam sehingga mereka tidak memikirkan kerajaan langit dan bumi. Andai syetan-syetan itu tidak ada, niscaya mereka (yaitu keturunan Ādam) melihat keajaiban-keajaiban (di kerajaan langit dan bumi itu).”

Kemudian, (setelah tiba kembali di Baitil Maqdis), Nabi saw. naik (ke atas Burāq), lalu berangkat.

Nabi saw., kemudian, melewati satu kafilah Quraisy (yang sedang melintas dari Syam ke Makkah) di anu dan anu. Di kafilah itu, ada unta yang membawa dua karung muatan: karung berwarna hitam dan karung berwarna putih. Saat (kehadiran) Nabi saw. mengejutkan mereka, unta itu lari terbirit seraya memekik. Kafilah itu bercerai-berai.

Nabi saw., kemudian, melewati satu kafilah lain (di ar-Rauhā’). Mereka kehilangan unta yang dikumpulkan oleh Banu Fulān. Beliau mengucapkan salam kepada mereka. Sekelompok orang dari mereka berseru, “Ini suara Muhammad!.”

(Bersambung ke Bagian 25)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-24/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 23

PENGURANGAN BILANGAN SHALAT

Nabi saw. bertemu kembali dengan Ibrāhīm as.. Ia tak berkomentar apapun.

Nabi saw., kemudian, bertemu kembali dengan Mūsā as. Beliau menyapa, “Ah, engkau, sebaik-baik sahabat.” Mūsā as. menjawab, “Apa yang engkau dapat, Wahai Muhammad? Apa yang telah diwajibkan Tuhan Pemeliharamu kepadamu dan kepada umatmu?” Nabi saw. menjawab, “Allah mewajibkan atasku dan atas umatku shalat lima puluh kali dalam sehari semalam.”

Mūsā as. berkata, “Kembalilah kepada Tuhan Pemeliharamu. Mohonlah dari-Nya keringanan untukmu dan untuk umatmu. Sungguh! Umatmu takkan mampu melaksanakannya. Sungguh! Aku pernah menyampaikan kepada manusia sebelum kamu juga menyampaikan kepada Bani Isrāīl dan mewajibkan mereka melaksanakan suatu yang lebih ringan dari ini (yaitu shalat lima puluh kali sehari semalam), namun mereka lemah dan meninggalkannya. Apalagi umatmu bertubuh, berbadan, berhati, berpenglihatan, dan berpendengaran lebih lemah (dari mereka).”

Nabi saw. menoleh kepada Jibrīl, meminta petunjuknya. Jibrīl memberi isyarat kepada beliau, “Silahkan! Jika engkau menginginkannya, maka kembalilah (kepada Tuhan Pemeliharamu).”

Maka, Nabi saw. segera kembali (menghadap Allah Tuhan Pemeliharanya) hingga tiba di pohon (Sidrah al-Muntahā). Kabut menyelubungi beliau. Beliau bersungkur sujud, lalu memohon, “(Wahai Allah) Tuhan Pemeliharaku, ringankanlah (kewajiban shalat itu) untuk umatku. Mereka, sungguh, adalah selemah-lemahnya umat.” Allah berfirman, “Aku kurangi dari (shalat yang diwajibkan atas) mereka itu lima (kali).”

Kabut, kemudian, lenyap. Nabi saw. kembali ke (tempat di mana) Mūsā as. (berada), lalu berkata, “Allah telah mengurangkan (kewajiban shalat) atasku lima (kali).” Mūsā as. berkata, “Kembalilah (lagi) kepada Tuhan Pemeliharamu. Mohonlah dari-Nya keringanan. Sungguh, umatmu tidak akan mampu melaksanakannya.”

(Demikianlah), setiap kali Nabi saw. hilir mudik antara Mūsā as. dan (Allah) Tuhan Pemeliharanya, (kewajiban shalat) atas beliau berkurang lima (kali) demi lima (kali).

Allah pun berfirman, “Wahai Muhammad!” Beliau menjawab, “Kusambut dan kupenuhi panggilan-Mu, (Wahai Allah).”

Allah berfirman, “Inilah (kewajiban) shalat lima kali sehari semalam. Setiap shalat berganjar sepuluh kali (lipat). Maka, itu (bernilai sama dengan) lima puluh kali sehingga tidak berubahlah perkataan-Ku (bahwa shalat diwajibkan atasmu dan umatmu sebanyak lima puluh kali sehari semalam), tidak pula terhapus ketentuan-Ku (bahwa shalat diwajibkan atasmu dan umatmu sebanyak lima puluh kali sehari semalam). Maka, barangsiapa berniat (melakukan) suatu kebajikan (dengan mendirikan shalat), lalu ia tidak melaksanakannya, maka dicatatlah atasnya (pahala satu) kebajikan. Namun, jika ia melaksanakannya, maka dicatatlah atasnya (pahala) sepuluh (kebaikan). Dan, barangsiapa berniat (melakukan) keburukan (dengan meninggalkan shalat), lalu ia tidak melaksanakannya, maka ia tidak dicatat (melakukan keburukan) sedikitpun. Namun, jika ia melaksanakannya, maka ia dicatat melakukan satu keburukan.”

Kabut, kemudian, lenyap. Nabi saw. turun hingga tiba (kembali) di (tempat di mana) Mūsā as. (berada).

Mūsā as. berkata, “Kembalilah kepada Tuhan Pemeliharamu. Mohonlah dari-Nya keringanan. Sungguh, umatmu tidak akan mampu melaksanakannya.” Beliau menjawab, “Aku telah kembali kepada Tuhan Pemeliharaku (berkali-kali) hingga aku malu dari-Nya. Tetapi, (kali ini) aku ridha dan aku pasrah.”

Lalu, seseorang berseru, “Telah kutetapkan kewajiban (dari)-Ku dan telah kuringankan hamba-Ku (atas kewajiban itu).”

Maka, Mūsā as. berkata, “Turunlah (sekarang) engkau (kembali ke dunia) dengan Nama Allah.”

(Bersambung ke Bagian 24)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-23/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 22

MELIHAT ALLAH DAN PERINTAH SHALAT

Nabi saw. pun, kemudian, melihat (Allah) Tuhan Pemelihara beliau, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi (dengan hati dan kedua mata beliau sendiri dan dengan suatu cara melihat yang tidak dilakukan dari suatu sudut tertentu atau batas-batas ruang tertentu, dan bebas dari segala sifat yang lazim melekat pada suatu ciptaan Allah).

Maka, Nabi saw. bersungkur seraya bersujud. Saat itu, (Allah) Tuhan Pemelihara beliau, berbicara kepada beliau.

Allah berfirman, “Wahai Muhammad!” Beliau menjawab, “Kupenuhi panggilan-Mu, wahai (Allah) Tuhan Pemelihara(ku).” Allah berfirman, “Bermohonlah!”

Nabi saw. menjawab, “Sungguh, Engkau telah memilih Ibrāhīm sebagai Kesayangan dan menganugerahinya kekuasaan yang agung (yaitu kemampuan menundukkan Namrūd dan kemaharajaannya); Engkau, benar-benar, telah berbicara kepada Mūsā; Engkau telah menganugerahi Dāud kerajaan yang agung, melunakkan besi untuknya, dan menjadikan gunung-gunung tunduk kepadanya; Engkau telah menganugerahi Sulaimān kerajaan yang agung, menjadikan jin, manusia, dan syetan, tunduk kepadanya, menjadikan angin tunduk kepadanya, dan menganugerahinya kerajaan yang tidak ada seorangpun lagi memiliki setelahnya; dan Engkau ajarkan ‘Īsā Taurāt (yang diturunkan kepada Mūsā agar ia –‘Īsā– dapat mempelajari dan melaksanakan isinya) dan Injīl, menganugerahinya kemampuan menyembuhkan kebutaan dan kusta, menghidupkan yang mati dengan izin-Mu, dan melindungi dirinya dan ibunya dari syetan yang terkutuk sehingga syetan tidak memiliki jalan untuk (memalingkan) keduanya.”

Maka, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman, “Aku telah memilihmu sebagai kekasih (dalam Taurāt tertulis sebagai “kekasih Allah,” demikian di dalam satu riwayat); Aku telah mengutusmu kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan penyampai peringatan; Aku telah melapangkan untukmu dadamu, menanggalkan darimu bebanmu, dan meninggikan bagimu sebutan (nama)mu sehingga tidak ada penyebutan (nama-Ku) kecuali dengan namamu disebut bersama (Nama)-Ku, Aku telah menjadikan umatmu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia; Aku telah menjadikan umatmu sebagai umat pertengahan; Aku telah menjadikan umatmu sebagai umat yang lebih dahulu (diciptakan) dan yang terakhir (dikeluarkan); Aku telah menjadikan umatmu (sebagai umat yang) terlarang bagi mereka untuk berkhutbah hingga mereka bersaksi bahwa engkau adalah hamba-Ku dan engkau adalah utusan-Ku; Aku telah menjadikan beberapa kelompok orang dari umatmu (yang) hati mereka (penuh terisi) injīl-injīl mereka (yaitu kitab yang berisi ilmu dan hikmah); Aku telah menjadikanmu sebagai nabi yang paling dahulu diciptakan, paling terakhir diutus, namun paling dahulu diputuskan (urusan)nya; Aku telah menganugerahimu sab’an min al-matsānī (surat al-Fātihah) yang tidak kuanugerahkan kepada nabi lain sebelummu; Aku telah menganugerahimu penutup-penutup surat al-Baqarah (yang penganugerahannya kepadamu telah Aku tentukan dan pewahyuannya kepadamu telah Aku tetapkan, yaitu setelah engkau berhijrah ke al-Madīnah kelak), suatu perbendaharaan (harta) yang ada di ‘Arsy, yang tidak kuanugerahkan kepada nabi lain sebelummu; Aku telah menganugerahimu al-Kautsar (nikmat yang sangat banyak); Aku telah menganugerahimu delapan keistimewaan, yaitu: (1) Islam, (2) hijrah, (3) jihad, (4) sedekah, (5) puasa di bulan Ramadhan, (6) memerintahkan yang ma’ruf, (7) mencegah yang munkar, dan (8) bahwa Aku, di hari Aku menciptakan langit dan bumi, mewajibkan atasmu dan atas umatmu shalat lima puluh waktu. Maka dirikanlah shalat itu olehmu dan oleh umatmu.”

Menurut satu riwayat lain, Rasulullah saw. dianugerahi (kewajiban) shalat lima waktu, penutup-penutup surat al-Baqarah), dan diampuninya (dosa orang-orang) dari dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan perkara-perkara (dosa) yang merusak.

Kemudian, kabut pun menghilang. Jibrīl meraih tangan Nabi saw., kemudian berlalu (dari al-Mustawā) dengan bergegas.

(Bersambung ke Bagian 23)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-22/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 21

AL-MUSTAWĀ

Nabi saw., kemudian, dinaikkan kembali ke Sidrah al-Muntahā. Kabut berwarna warni menyelubungi beliau. Jibrīl mengundurkan diri.

Nabi saw., kemudian, dinaikkan ke al-Mustawā, tempat di mana beliau mendengar (suara) Sharīf al-Aqlām (goresan pena-pena yang mencatat berbagai qadha Allah dan wahyu-Nya yang sudah ditetapkan di al-Lauh al-Mahfūzh, dan mencatat atau menghapus amar dan pengaturan Allah sesuai dengan kehendak-Nya).

Nabi saw. melihat pria tak dikenal di dalam cahaya ‘Arsy. Beliau bertanya, “Siapakah ini? Malaikatkah?” Dijawablah, “Bukan!” Beliau bertanya, “Nabikah?” Dijawablah, “Bukan!” Beliau bertanya, “Jika demikian, siapakah dia?” Dijawablah, “Inilah pria yang lidahnya, selama di dunia, sibuk menyebut nama Allah, hatinya tertaut di masjid, dan tak pernah sekalipun memaki kedua orang tuanya.”

(Bersambung ke Bagian 22)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-21/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 20

NERAKA

Kemudian, diperlihatkanlah kepada Nabi saw. Neraka. Di dalamnya, (terhampar) murka Allah, celaan, dan pembalasan-Nya. Jika sebuah batu dan besi dilempar ke sana, niscaya neraka melumatnya.

Di dalam Neraka, Nabi saw. melihat sekelompok orang yang sedang memakan bangkai. Beliau bertanya, “Siapakah mereka semua, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging-daging sesamanya.”

Nabi saw., kemudian, melihat Mālik, malaikat penjaga neraka. Ia adalah sosok pemuram (dan tak pernah tersenyum). Di wajahnya, terpancar kemurkaan.

Beliau mengawali ucapan salam kepada Mālik. Lalu, (gerbang) neraka pun ditutup.

(Bersambung ke Bagian 21)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/datdir-20/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 19

SURGA

Nabi saw., kemudian, menuju ke (tepi) Sungai al-Kautsar, (mengikuti aliran airnya), hingga masuk ke dalam surga. Terhamparlah di sana apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah melintas di hati siapapun.

Di gerbang Surga, Nabi saw. melihat tulisan, “Sedekah (akan diganjar) dengan sepuluh kali lipat kebajikan sejenis, sedangkan menghutangkan (akan dibalas) dengan delapan belas kali lipat.”

Nabi saw. bertanya, “Wahai Jibrīl, kenapa menghutangkan lebih utama dari sedekah?” Jibrīl menjawab: “Karena seorang peminta, saat ia meminta, maka memiliki sesuatu pada dirinya, sedangkan orang yang berhutang, tidak akan berhutang kecuali karena kebutuhan.”

Nabi saw., kemudian, berjalan kembali. Tampaklah sungai-sungai susu yang rasanya tidak akan berubah, sungai-sungai khamr yang (terasa) lezat bagi peminum-peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.

Tampak pula di sana kubah-kubah mutiara yang batu-batu delimanya laksana ember-ember besar (yang menaungi kenikmatan yang dianugerahkan kepada penghuninya dengan limpahan anugerah kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah melintas di hati siapapun).

Dalam satu riwayat (diterangkan bahwa) di Surga, ada pula (hamparan) batu-batu delima (yang besar dan gerak kilauannya) seperti kulit-kulit unta (yang dijadikan) pelana pembawa muatan. Ada pula burung-burung yang (besarnya) seperti unta-unta Bukhātī (jenis unta yang berasal dari Khurasan).

Abu Bakar (saat Nabi saw., kelak, menceritakan hal itu) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah itu, benar-benar, (bagian dari) kenikmatan (yang tersedia di surga)” Nabi saw. menjawab: “(Ya). Aku, bahkan, memakan (daging burung Surga) yang jauh lebih nikmat. Sungguh, aku sangat berharap agar engkau pun memakannya (kelak).”

Nabi saw., kemudian, menatap (lagi) Sungai al-Kautsar yang di tepi-tepinya terdapat kubah-kubah mutiara besar yang terbuka. Tanahnya menebarkan (semerbak aroma) wangi.

(Bersambung ke Bagian 20)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-19/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 18

SIDRAH AL-MUNTAHĀ

Nabi saw., kemudian, diangkat ke Sidrah al-Muntahā. Di sanalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang naik dari bumi. Di sana pulalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang turun dari atas.

(Di tingkat kedelapan ini, beliau naik sampai ke bagian tertinggi di mana terdapat al-Kursī yang terbuat dari mutiara putih).

Sidrah al-Muntahā adalah pohon yang keluarlah dari akarnya sungai-sungai air yang (rasa, warna, dan aromanya) tidak pernah berubah, sungai-sungai susu yang rasa (juga warna dan aroma)nya tidak pernah berubah, sungai-sungai khamr yang (terasa) lezat bagi peminum-peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.

(Cabang-cabang Sidrah al-Muntahā menjulang di atas langit ketujuh ke bagian perut “langit kedelapan” yang disebut dengan al-Kursī itu).

Seorang penunggang (onta, kuda, atau keledai) akan melintasi bayangan Sidrah al-Muntahā (selama) tujuh puluh tahun tanpa henti (sebagai penggambar atas luasnya area bayangan pohon itu yang kepastiannya hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui).

Buah Sidrah al-Muntahā seperti tempayan-tempayan dari Hajar (sebuah desa di dekat Kota Madinah).

Daun Sidrah al-Muntahā seperti telinga-telinga gajah yang satu lembarnya nyaris dapat memayungi seluruh umat ini. Dalam suatu riwayat (diterangkan bahwa) satu lembar daunnya, bahkan, dapat memayungi seluruh makhluk.

Ada seorang malaikat di setiap lembar daun Sidrah al-Muntahā. Ada pula warna-warna yang menyelubung yang tidak diketahui (warna) apakah itu. Jika suatu amar dari Allah menyelubung, maka bergantilah warna-warna yang menyelubung itu, bahkan, menurut satu riwayat, berubahlah warna-warna itu menjadi (batu-batu) yāqūt dan zabarjad. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menggambarkannya karena demikian indahnya.

Di pohon itu, ada juga pembaringan (yang terbuat) dari emas.

Di bagian akar Sidrah al-Muntahā, ada empat sungai. Dua sungai (diantaranya) adalah “sungai batin” dan dua sungai (lainnya) adalah “sungai zahir.” Nabi saw. bertanya, “Sungai-sungai apakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Dua sungai batin adalah dua sungai yang mengalir di surga (yaitu Sungai al-Kautsar dan Sungai as-Salsabīl. Selain dua sungai itu, mengalir pula di surga tiga sungai lainnya, yaitu Sungai ar-Rayyān, Sungai at-Tasnīm, dan Sungai al-Baidakh), sedangkan dua sungai zahir (adalah dua sungai yang mengalir di dunia) yaitu Sungai Nīl dan Sungai Eufrat.”

Dalam satu riwayat, (diterangkan bahwa) Nabi saw. melihat Jibrīl di Sidrah al-Muntahā dengan enam ratus sayapnya. Masing-masing sayap itu menutup setiap penjuru cakrawala. Setiap kepakan (sayap) itu memendarkan kilauan (batu-batu) durr dan yāqūt (dalam bilangan) yang tidak ada seorangpun mengetahuinya kecuali Allah Yang Maha Tinggi.

(Bersambung ke Bagian 19)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/05/dardir-18/