Isrā’ dan Mi’rāj 17

AL-BAIT AL-MA’MŪR

Nabi saw., kemudian, masuk ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersama beliau, masuk pula orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna putih. Sementara itu, orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna abu, (yang turut masuk pula bersama beliau, berada dalam keadaan) terhalang. Namun, mereka berada dalam kebaikan (dari Allah).

Nabi saw., kemudian, shalat bersama orang-orang yang beriman itu di al-Bait al-Ma’mūr.

Al-Bait al-Ma’mūr adalah suatu tempat yang senantiasa dimasuki, setiap harinya, oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak akan kembali lagi ke sana sampai hari kiamat.

Al-Bait al-Ma’mūr berkaki di Ka’bah (yang, karena itu, keduanya berada dalam satu garis). Jika sebuah batu jatuh darinya, maka ia akan jatuh ke atas Ka’bah.

Dalam sebuah riwayat lain (diterangkan bahwa di sinilah) disodorkan kepada Nabi saw. tiga cawan yang telah dijelaskan sebelumnya. Beliau mengambil (cawan berisi) susu. Jibrīl membenarkan apa yang dilakukan olehnya sebagaimana telah dijelaskan, lalu berkata, seperti (diterangkan) dalam suatu riwayat, “Inilah fitrah (Dīn al-Islām) yang di atasnyalah engkau dan umatmu berada.”

(Bersambung ke Bagian 18)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/05/dardir-17/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 16

LANGIT KETUJUH

Nabi saw., kemudian, naik ke langit ketujuh (yang terbuat dari batu yāqūt berwarna merah). Jibrīl meminta (gerbang ke langit itu) dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat ta’jub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara,sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba, Nabi saw. melihat Ibrāhīm al-Khalīl as. duduk di (luar, di dekat, atau di bagian tengah) gerbang surga, di atas satu singgasana (emas) yang sandarannya merekat ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersamanya, ada sekelompok orang dari kaumnya.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Ibrāhīm as. Ia membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang anak yang saleh dan nabi yang saleh.”

Ibrāhīm as., kemudian, berkata, “Perintahkanlah umatmu agar (menanam dan) memperbanyak tanaman surga. Sungguh, tanahnya subur dan hamparannya luas.” Nabi saw. bertanya, “Apakah tanaman surga itu?” Ia menjawab: “Lā haulā wa lā quwwata illā billāh al- ‘aliyy al-‘azhīm.”

Dalam riwayat lain (diterangkan) bahwa (Ibrāhīm as. berkata), “Sampaikanlah salām dariku kepada umatmu dan kabarilah mereka bahwa surga itu bertanah subur, berair lezat, dan tanamannya adalah (kalimat) “Subhānallāh walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.”

Bersama Ibrāhīm as., duduk sekelompok orang berwajah-wajah putih seperti kertas-kertas dan sekelompok orang lain yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng. Orang-orang yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng itu bangkit, berceburan ke sebuah sungai, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai (lain), lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai lain yang ketiga, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah seluruh warna-warna (wajah mereka dari coreng) sehingga (warna-warna wajah mereka itu) menjadi sama dengan warna-warna (wajah) sahabat-sahabat mereka. Merekapun beranjak, lalu bergabung dengan sahabat-sahabat mereka itu.

Nabi saw. bertanya, “Wahai Jibrīl, siapakah mereka yang berwajah-wajah putih itu? Siapakah mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng? Dan, sungai-sungai apakah yang ke dalamnya orang-orang itu berceburan, lalu mandi?”

Jibrīl menjawab, “Mereka yang berwajah-wajah putih itu adalah sekelompok orang yang tidak mencemari iman mereka dengan perbuatan dosa. Mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng itu adalah sekelompok orang yang melakukan amal saleh, mencemarinya dengan sesuatu (perbuatan dosa), namun mereka bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka.”

Adapun sungai-sungai itu, maka yang pertama adalah rahmat Allah, yang kedua adalah nikmat Allah, dan yang ketiga adalah Tuhan Pemelihara mereka memberi mereka minum dengan minuman yang suci.

Lalu, dikatakanlah (kepada Nabi saw.), “Inilah tempatmu dan tempat umatmu.”

Demikianlah, ada dua (tempat yang disediakan Allah) untuk umat beliau. Satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna putih sehingga mereka) bagaikan kertas-kertas dan satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna) abu.

(Bersambung ke Bagian 17)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-16/



 

Isrā’ dan Mi’rāj 15

LANGIT KEENAM

Nabi saw., kemudian, naik ke langit keenam (yang juga terbuat dari emas). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa yang (turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Nabi saw. berjalan bersama seorang nabi lain, lalu sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama para nabi itu, (turut mengiringi) sekelompok kecil orang (dari suatu kaum, berjumlah di atas tiga orang di bawah sepuluh orang).

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama mereka, (turut mengiringi, sekelompok besar orang dari) suatu kaum.

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan (sejumlah) nabi-nabi lainnya lagi. Namun, bersama mereka, tidak ada (lagi) seorangpun (yang mengiringi).

Nabi saw., kemudian, berjalan bersama sekelompok besar (orang yang demikian banyaknya sehingga, dari kejauhan, terlihat seperti barisan) hitam raksasa, menyesaki cakrawala. Beliau bertanya: “Siapakah rombongan (orang-orang) ini?” Dijawablah: “Mereka adalah Mūsā dan kaumnya.”

Namun, angkatlah kepalamu. Jika (yang engkau lihat) itu adalah sekelompok (barisan) hitam raksasa yang menyesaki cakrawala dari satu sudut ke sudut lainnya dan dari satu penjuru ke penjuru lainnya, maka, dikatakanlah kepada beliau, “Mereka adalah umatmu (yang akan menghadapi pengadilan Allah), kecuali tujuh puluh ribu orang ini yang akan masuk ke dalam surga tanpa (melalui) hisab (pengadilan Allah).”

(Menurut satu riwayat, Nabi saw. memohon kepada Allah agar menambah jumlah umatnya yang akan masuk ke surga tanpa hisab itu. Maka, Allah mengabulkan permohonan itu dengan menambahkan untuk setiap orang dalam tujuh puluh ribu orang itu tujuh puluh ribu orang lagi).

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba (di langit keenam itu), terlihatlah Mūsā Ibn Imrān ra., seorang pria berkulit putih kemerahan, berpostur sangat tinggi, laksana pria-pria dari Qabilah Syanū’ah (sebuah qabilah yang ada di Yaman), dan berbulu lebat. Andai ia memakai dua lapis pakaian, bulu-bulu (di tubuhnya) mampu mengoyak salah satu lapis pakaian itu.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Mūsā. Ia menjawab salam itu, lalu berkata: “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.”

Mūsā as., kemudian, mendoakan kebaikan untuk Nabi saw., lalu bergumam, “Manusia mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan orang ini (yaitu Muhammad saw.). Padahal, ia lebih mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan aku.”

Ketika Nabi saw. meninggalkannya, Mūsā as. menangis. Ditanyakanlah, “Apakah yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena seorang dari masa setelahku (yaitu Muhammad saw.) yang telah diutus (sebagai rasul). Orang yang masuk surga dari umatnya lebih banyak daripada orang yang masuk surga dari umatku. Bani Isrāīl mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah. Padahal orang ini (yaitu Muhammad saw.) adalah keturunan Ādam yang menggantikan aku di dunia, demikian juga aku di akhirat. Walaupun ia tidak menyadari, namun ia bersama umatnya.”

(Bersambung ke Bagian 16)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-15/



 

Isrā’ dan Mi’rāj 14

LANGIT KELIMA

Nabi saw., kemudian, naik ke langit kelima (yang terbuat dari emas). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan),“Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba, tampaklah Hārūn as. Separuh jenggotnya berwarna putih dan separuhnya lagi berwarna hitam (yang, menurut satu riwayat, warna jenggotnya itu disebabkan oleh jambakan Mūsā as. saat ia marah kepadanya). Jenggot itu menjuntai hingga hampir mencapai pusar karena panjangnya.

Di sekeliling Hārūn as., ada sekelompok orang dari Bani Isrāīl. Ia sedang mengisahkan (bangsa-bangsa terdahulu) kepada mereka.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Hārūn as. Ia membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.” Ia, kemudian, mendo’akan kebaikan untuk beliau.

Nabi saw. bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?”. Jibrīl menjawab, “Inilah seorang pria yang sangat dicintai di kalangan kaumnya, yaitu Hārūn Ibn Imrān.”

(Bersambung ke Bagian 15)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-14/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 13

LANGIT KEEMPAT

Nabi saw., kemudian, naik ke langit keempat (yang terbuat dari tembaga). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab: “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba, tampaklah Idrīs as. yang telah diangkat Allah ke satu tempat mulia (dalam keadaan masih hidup).

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Idrīs as. Ia membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.” Ia, kemudian, mendo’akan kebaikan untuk beliau.

(Bersambung ke Bagian 14)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-13/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 12

LANGIT KETIGA

Nabi saw., kemudian, naik ke langit ketiga (yang terbuat dari besi murni). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibríl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Ketika Nabi saw. dan Jibrīl tiba, tampaklah Yūsuf as. bersama sekelompok orang dari kaumnya.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Yūsuf as. Ia membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.” Ia, kemudian, mendo’akan kebaikan untuk beliau.

Yūsuf as. adalah manusia yang telah dianugerahi separuh keindahan (tubuh dan paras Nabi Muhammad saw. Dikatakan demikian karena Nabi Muhammad saw. berada dalam penjagaan penuh Allah swt sejak beliau kanak-kanak sampai dewasa. Dengan penjagaan penuh itu, tidak ada seorangpun yang dapat secara utuh menatap sempurnanya keindahan beliau. Karena itu, beliaupun terhindar dari fitnah. Berbeda halnya dengan Yūsuf as. yang pada sebagian usianya hidup sebagaimana lazimnya orang lain. Fitnah karena sebab keindahan tubuh dan parasnya pernah terjadi).

Menurut sebuah riwayat, Yūsuf as. adalah (manusia) terindah yang Allah ciptakan. (Keindahannya) betul-betul mengungguli (seluruh) manusia sebagaimana (unggulnya keindahan) rembulan di malam purnama atas seluruh bintang (di sekitarnya).

Nabi saw. bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Dialah Yūsuf, saudaramu.”

(Bersambung ke Bagian 13)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/30/dardir-12/



 

Isrā’ dan Mi’rāj 11

LANGIT KEDUA

Nabi saw., kemudian, naik ke langit kedua (yang terbuat dari zamrud putih). Jibrīl meminta gerbang langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Ketika Nabi saw. dan Jibrīl tiba, tampak dua orang (yang merupakan) anak bibi mereka masing-masing, yaitu ‘Īsā Ibn Maryam dan Yahyā Ibn Zakariā.

(ibu kandung Maryam, yaitu Hanāt, adalah saudara ibu kandung Yahyā as. Ayah Yahyā as, yaitu Zakariā as, menjadi pengasuh Maryam ketika ayahnya, yaitu Imrān, sang tokoh besar saat itu, meninggal dunia. Di langit kedua itu, Īsā as dan Yahyā as terlihat duduk bersama di sebuah balai indah berhiaskan batu-batu yaqūt. Wujud keduanya tidak berbeda dengan wujud asli mereka saat masih hidup di dunia).

Pakaian dan rambut ‘Īsā as. dan Yahyā as. sangatlah mirip. Bersama mereka berdua, ada sekelompok orang dari kaum mereka masing-masing.

‘Īsā as. berpostur tubuh sedang, (dengan kulit) cenderung berwarna merah keputihan, serta berambut lurus-klimis laksana ia baru keluar dari jamban atau kamar mandi. ‘Urwah Ibn Mas’ūd ast-Tsaqafī (salah seorang sahabat Nabi saw. tokoh Bani Tsaqīfah, yang masuk islam setelah Ekspedisi Tsaqīf) sangat menyerupainya.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada ‘Īsā as. dan Yahyā as.. Keduanya membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.” Keduanya, kemudian, mendo’akan kebaikan untuk beliau.

(Bersambung ke Bagian 12)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/28/dardir-11/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 10

LANGIT PERTAMA

Naiklah Nabi saw. dan Jibrīl (melalui “Mi’rāj” itu) hingga tibalah keduanya di salah satu gerbang dari gerbang-gerbang langit dunia yang disebut dengan Bāb al-Hafazhah.

Di sana, ada seorang malaikat bernama Isma’īl. Dia adalah penjaga langit dunia (dari syetan-syetan yang berusaha mencuri dengar berita-berita langit).

Isma’īl menghuni angkasa. Ia tak pernah naik ke langit dan tak pernah turun ke bumi, kecuali (sekali, yaitu) di hari wafatnya Nabi saw.

Dalam kendali Isma’īl, ada (tentara penjaga berjumlah) tujuh puluh ribu malaikat dan dalam kendali masing-masing tentara malaikat itu ada lagi (tentara penjaga yang masing-masing berjumlah) tujuh puluh ribu malaikat pula.

Jibrīl meminta gerbang langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit dunia itu) untuk mereka berdua.

Setelah Nabi saw. dan Jibrīl tiba, ada Ādam as. di sana. Dialah leluhur umat manusia (yang tampak) dalam keadaan dan bentuk tubuh seperti saat Allah (dahulu) menciptakannya (yaitu berkulit putih kemerahan, rupawan, dan elok. Tinggi tubuhnya enam puluh hasta, yaitu sekitar 45,72 cm x 60 = 27,43.2 m, dan lebar tubuhnya tujuh hasta, yaitu sekitar 45,72 cm x 7 = 3,20 m).

Ke hadapan Adam as., ruh-ruh nab-nabi dan keturunannya yang beriman dikumpulkan, lalu ia berkata, “(Inilah) ruh yang suci dan jiwa yang suci. Tempatkanlah mereka oleh kalian di Surga ‘Illiyyīn.”

Kemudian, ke hadapan Ādam as., ruh-ruh keturunannya yang kafir dikumpulkan pula, lalu ia berkata, “(Inilah) ruh yang kotor dan jiwa yang kotor. Tempatkanlah mereka oleh kalian di Neraka Sijjīn.”

Di sebelah kanan Ādam as, ada sekelompok orang dan sebuah gerbang yang darinya berhembus aroma wangi. Di sebelah kirinya, ada sekelompok orang dan sebuah gerbang yang darinya berhembus aroma busuk lagi menyengat.

Jika Ādam as. menatap ke sebelah kanannya, ia tertawa dan ceria. Namun, jika ia menatap ke sebelahnya, ia bersedih dan menangis.

Nabi saw. pun mengucapkan salam kepada Ådam as. Ia menjawab salam itu, lalu berkata, “Selamat datang anak yang saleh dan nabi yang saleh.”

Nabi saw. bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Inilah Ādam, leluhurmu. Orang-orang ini adalah keturunannya.”

Mereka yang ada di sebelah kanan adalah penghuni surga dan mereka yang ada di sebelah kiri adalah penghuni neraka.

Jika Ādam menatap ke sebelah kanan, ia tertawa dan ceria. Namun, jika Ādam menatap ke sebelah kiri, ia bersedih dan menangis.

Adapun gerbang ini, yang ada di sebelah kanan, adalah gerbang surga. Jika Ādam melihat seseorang dari keturunannya masuk ke gerbang ini, ia tertawa dan ceria.

Sedangkan gerbang ini, yang ada di sebelah kiri, adalah gerbang neraka. Jika Ādam melihat seseorang dari keturunannya masuk ke gerbang ini, ia menangis dan bersedih.

Nabi saw., kemudian, segera berlalu (meninggalkan Ādam as).

Nabi saw., kemudian, melihat pemakan-pemakan riba dan harta anak yatim, pezina-pezina, dan pelaku-pelaku keburukan lainnya dalam keadaan yang sangat menggidikkan, seperti telah tampak (sebelumnya, yaitu bahwa beliau melihat, antara lain, perut pemakan riba membuncit hingga sebesar rumah dan penyebar-penyebar fitnah memotong-motong daging tubuh mereka sendiri, lalu saling melahapnya). Beliau pun menggegaskan diri.

(Bersambung ke Bagian 11)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/30/dardir-10/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 09

MI’RĀJ

Kemudian, dihadirkanlah “Mi’rāj” (ke hadapan Nabi saw., yaitu suatu “alat yang digunakan untuk naik.”). Melaluinya, ruh-ruh keturunan Ādam (yang beriman) naik (ke surga).

Tidak ada makhluk-makhluk yang pernah melihat sesuatu yang lebih indah dari “Mi’rāj” itu. Ia memiliki pijakan dari emas dan pijakan dari perak.

(Jumlah pijakan “Mi’rāj”, menurut satu riwayat, adalah sepuluh: tujuh pijakan mengarah ke tujuh langit, pijakan kedelapan mengarah ke Sidrah al-Muntahā, pijakan kesembilan mengarah ke Sharīf al-Aqlām, dan pijakan kesepuluh mengarah ke ‘Arsy).

“Mi’rāj” berasal dari Surga Firdaus. Ia berhiaskan mutiara. Di sebelah kanannya ada malaikat-malaikat (yang menjaga) dan di sebelah kirinya ada malaikat-malaikat (yang menjaga).

(Bersambung ke Bagian 10)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/26/dardir-09/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 08

BAIT AL-MAQDIS

Nabi saw. (terus) melaju hingga tiba di kompleks Bait al-Maqdis. Beliau memasukinya dari gerbang Yamānī. Beliau, kemudian, turun dari Burāq, lalu mengikat hewan itu di pintu mesjid, di sebuah tiang di mana para nabi (semoga shalawāt dan salām terlimpah atas mereka) biasa mengikatnya.

Dalam satu riwayat (diterangkan) bahwa Jibrīl mendekati sebuah batu, lalu meletakkan jarinya di sana. Ia melubangi batu itu dan mengikatkan Burāq ke sana, lalu masuk ke dalam mesjid dari arah condongnya matahari dan bulan (arah timur).

Kemudian, Nabi saw. dan Jibrīl mendirikan shalat (tahiyyah al-masjid) masing-masing dua rakaat.

Nabi saw. baru bergerak sedikit (selepas menunaikan shalatnya) hingga, kemudian, banyak orang berkumpul. Beliau menyadari bahwa ada nabi-nabi di antara orang yang berdiri, ruku, atau sujud itu.

Lalu, seseorang (yaitu Jibrīl) memekikkan adzān, disusul dengan iqāmah. Mereka pun berdiri, membentuk shaf, seraya menanti orang yang akan mengimami mereka.

Jibrīl meraih tangan Nabi saw. dan mendorong beliau maju (sebagai imam). Lalu, shalatlah beliau dua rakaat bersama mereka.

Menurut riwayat dari Ka’ab, Jibrīl mengundang malaikat-malaikat sehingga turunlah mereka dari langit. Allah menghimpun (pula) rasul-rasul dan nabi-nabi untuk Nabi saw. Lalu, shalatlah beliau bersama malaikat-malaikat dan rasul-rasul itu.

Setelah Nabi saw. menuntaskan (shalatnya), Jibrīl bertanya, “Wahai Muhammad, tahukah engkau siapa yang shalat di belakangmu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Jibrīl berkata, “(Mereka adalah) seluruh nabi yang pernah diutus Allah Yang Maha Tinggi.”

Kemudian, setiap nabi dari nabi-nabi itu melantunkan pujian indah untuk Tuhan Pemeliharanya. Nabi saw. berseru: “Setiap orang dari kalian melantunkan puji untuk Tuhan Pemeliharanya, maka demikian (pulalah) aku memuji Tuhan Pemeliharaku.”

Nabi saw., kemudian, berjalan seraya berujar, “Segala puji bagi Allah yang telah mengutusku sebagai rahmat untuk semesta alam dan untuk semua manusia, pembawa berita gembira dan penyampai peringatan, yang telah menurunkan kepadaku al-Qur’ān, yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu, yang telah menjadikan umatku sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, yang telah menjadikan umatku sebagai umat pertengahan, yang menjadikan umatku sebagai umat yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah melapangkan untukku dadaku, yang telah menanggalkan dariku beban-beban (yang memberatkan)ku, yang telah meninggikan untukku sebutan (nama)ku, dan yang telah menjadikanku sebagai pembuka (atas segala wujud), pula penutup (bagi seluruh kenabian).”

Ibrāhīm as., (setelah mendengar seru pujian Nabi saw. itu), berkata (kepada semua nabi dan rasul), “Karena (apa yang disebutkan dalam pujiannya) inilah Muhammad melebihi kalian (sehingga ia menjadi imam kalian, kalian menjadi pengikutnya, dan kalian menjadi bagian kecil dari umatnya)!”

Nabi saw., kemudian, merasakan haus yang lebih hebat dari yang pernah dirasakan sebelumnya. Jibrīl membawakan untuk beliau sewadah arak dan sewadah susu. Beliau memilih susu. Maka, Jibrīl berkata, “Engkau telah memilih “al-fitrah” (karena dari susu yang diisap dari sang ibulah daging dan tulang belulang tumbuh). Andai engkau memilih arak, maka sesatlah umatmu. Tidak ada yang akan mengikutimu kecuali segelintir orang dari mereka.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa wadah dimaksud berjumlah tiga di mana wadah yang ketiga berisi air, dan bahwa Jibrīl berkata kepada beliau, “Andai engkau memilih air, maka tenggelamlah umatmu (dalam kelezatan dan syahwat duniawi).”

Dalam riwayat lainnya lagi (disebutkan) bahwa salah satu (dari ketiga) wadah itu berisi madu, bukan air.

Lalu, di sebelah kiri sebuah batu besar, Nabi saw. melihat wanita surgawi (bidadari). Beliau mengucapkan salam kepada mereka dan mereka membalasnya. Beliau bertanya kepada mereka dan mereka menjawabnya dengan mata berbinar.

(Bersambung ke Bagian 09)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/25/dardir-08/