Isra dan Mi’raj (Bagian 19)

SURGA

Nabi saw., kemudian, menuju ke (tepi) Sungai al-Kautsar, (mengikuti aliran airnya), hingga masuk ke dalam surga. Terhamparlah di sana apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah melintas di hati siapapun.

Di gerbang Surga, Nabi saw. melihat tulisan: “Sedekah (akan diganjar) dengan sepuluh kali lipat (kebajikan) sejenis, sedangkan menghutangkan (akan dibalas) dengan delapan belas kali lipat.” Beliau bertanya: “Wahai Jibrīl, kenapa menghutangkan lebih utama dari sedekah?” Jibrīl menjawab: “Karena seorang peminta, saat ia meminta, maka memiliki sesuatu pada dirinya, sedangkan orang yang berhutang, tidak akan berhutang kecuali karena kebutuhan.”

Nabi saw., kemudian, telah berjalan kembali. Tampaklah sungai-sungai susu yang rasanya tidak akan berubah, sungai-sungai khamr yang (terasa) lezat bagi peminum-peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.

Tampak pula di sana kubah-kubah mutiara yang batu-batu delimanya laksana ember-ember besar (yang menaungi kenikmatan yang dianugerahkan kepada penghuninya dengan limpahan anugerah kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah melintas di hati siapapun).

Dalam satu riwayat (diterangkan bahwa) di Surga, ada pula (hamparan) batu-batu delima (yang besar dan gerak kilauannya) seperti kulit-kulit unta (yang dijadikan) pelana pembawa muatan. Ada pula burung-burung yang (besarnya) seperti unta-unta Bukhātī (jenis unta yang berasal dari Khurasan).

Abu Bakar (saat Nabi saw., kelak, menceritakan hal itu) berkata: “Wahai Rasulullah, apakah itu, benar-benar, (bagian dari) kenikmatan (yang tersedia di surga)” Nabi saw. menjawab: “(Ya). Aku, bahkan, memakan (daging burung Surga) yang jauh lebih nikmat. Sungguh, aku sangat berharap agar engkau pun memakannya (kelak).”

Nabi saw., kemudian, menatap (lagi) Sungai al-Kautsar yang di tepi-tepinya terdapat kubah-kubah mutiara besar yang terbuka. Tanahnya menebarkan (semerbak aroma) wangi.

———-

QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR

———-

Isra dan Mi’raj (Bagian 18)

SIDRAH AL-MUNTAHĀ

Nabi saw., kemudian, diangkat ke Sidrah al-Muntahā. Di sanalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang naik dari bumi. Di sana pulalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang turun dari atas.

(Di tingkat kedelapan ini, beliau naik sampai ke bagian tertinggi di mana terdapat al-Kursī yang terbuat dari mutiara putih).

Sidrah al-Muntahā adalah pohon yang keluarlah dari akarnya sungai-sungai air yang (rasa, warna, dan aromanya) tidak pernah berubah, sungai-sungai susu yang rasa (juga warna dan aroma)nya tidak pernah berubah, sungai-sungai khamr yang (terasa) lezat bagi peminum-peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.

(Cabang-cabang Sidrah al-Muntahā menjulang di atas langit ketujuh ke bagian perut “langit kedelapan” yang disebut dengan al-Kursī itu).

Seorang penunggang (onta, kuda, atau keledai) akan melintasi bayangan Sidrah al-Muntahā (selama) tujuh puluh tahun tanpa henti (sebagai penggambar atas luasnya area bayangan pohon itu yang kepastiannya hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui).

Buah Sidrah al-Muntahā seperti tempayan-tempayan dari Hajar (sebuah desa di dekat Kota Madinah).

Daun Sidrah al-Muntahā seperti telinga-telinga gajah yang satu lembarnya nyaris dapat memayungi seluruh umat ini. Dalam suatu riwayat (diterangkan bahwa) satu lembar daunnya, bahkan, dapat memayungi seluruh makhluk.

Ada seorang malaikat di setiap lembar daun Sidrah al-Muntahā. Ada pula warna-warna yang menyelubung yang tidak diketahui (warna) apakah itu. Jika suatu amar dari Allah menyelubung, maka bergantilah warna-warna yang menyelubung itu, bahkan, menurut satu riwayat, berubahlah warna-warna itu menjadi (batu-batu) yāqūt dan zabarjad. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menggambarkannya karena demikian indahnya.

Di pohon itu, ada juga pembaringan (yang terbuat) dari emas.

Di bagian akar Sidrah al-Muntahā, ada empat sungai. Dua sungai (diantaranya) adalah “sungai batin” dan dua sungai (lainnya) adalah “sungai zahir.” Nabi saw. bertanya: “Sungai-sungai apakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab: “Dua sungai batin adalah dua sungai yang mengalir di surga (yaitu Sungai al-Kautsar dan Sungai as-Salsabīl. Selain dua sungai itu, mengalir pula di surga tiga sungai lainnya, yaitu Sungai ar-Rayyān, Sungai at-Tasnīm, dan Sungai al-Baidakh), sedangkan dua sungai zahir (adalah dua sungai yang mengalir di dunia) yaitu Sungai Nīl dan Sungai Eufrat.”

Dalam satu riwayat, (diterangkan bahwa) Nabi saw. melihat Jibrīl di Sidrah al-Muntahā dengan enam ratus sayapnya. Masing-masing sayap itu menutup setiap penjuru cakrawala. Setiap kepakan (sayap) itu memendarkan kilauan (batu-batu) durr dan yāqūt (dalam bilangan) yang tidak ada seorangpun mengetahuinya kecuali Allah Yang Maha Tinggi.

———-

QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR

———-

Isra dan Mi’raj (Bagian 17)

AL-BAIT AL-MA’MŪR

Nabi saw., kemudian, masuk ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersama beliau, masuk pula orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna putih. Sementara itu, orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna abu, (yang turut masuk pula bersama beliau, berada dalam keadaan) terhalang. Namun, mereka berada dalam kebaikan (dari Allah).

Nabi saw., kemudian, shalat bersama orang-orang yang beriman itu di al-Bait al-Ma’mūr.

Al-Bait al-Ma’mūr adalah suatu tempat yang senantiasa dimasuki, setiap harinya, oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak akan kembali lagi ke sana sampai hari kiamat.

Al-Bait al-Ma’mūr berkaki di Ka’bah (yang, karena itu, keduanya berada dalam satu garis). Jika sebuah batu jatuh darinya, maka ia akan jatuh ke atas Ka’bah.

Dalam sebuah riwayat lain (diterangkan bahwa di sinilah) disodorkan kepada Nabi saw. tiga cawan yang telah dijelaskan sebelumnya. Beliau mengambil (cawan berisi) susu. Jibrīl membenarkan apa yang dilakukan olehnya sebagaimana telah dijelaskan, lalu berkata, seperti (diterangkan) dalam suatu riwayat: “Inilah fitrah (Dīn al-Islām) yang di atasnyalah engkau dan umatmu berada.”

———-

QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR

———-

Pelepasan Anggota Pramuka Calon Penegak Bantara

42 santri berbaris rapih di lapangan pesantren malam tadi tepat pukul 23.00 wib. Para santri yang tergabung dalam Keanggotaan Pramuka Calon Penegak Bantara tersebut, siap mengikuti apel pelepasan untuk menuju tempat diseleggarakannya Kegiatan Pelantikan Pramuka Calon Penegak Bantara.

Kegiatan yang akan diselenggarakan di Bumi Perkemahan Cidahu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGH) Sukabumi tersebut, akan berlangsung selama 3 hari, sebagai wadah apilikasi para anggota Pramuka Calon Penegak atas padatnya pelatihan-pelatihan kecakapan pramuka yang telah mereka ikuti hampir selama 2 bulan penuh sebelum kegiatan ini diselenggarakan.

“Perkiraan rombongan keberangkatan sampai nanti tiba di tempat tujuan akan menempuh perjalan selama kurang lebih 2 jam. Sejenak beristirahat melepas lelah selama perjalanan, setelah itu, bergegas para peserta kegiatan harus mendirikan tenda agar dapat tidur, karena selepas subuh, jadwal kegiatan di lokasi akan sangat padat. Semoga semuanya berjalan dengan lancar, sampai tibanya kami kembali di pesantren hari Sabtu siang mendatang. ” Ujar Ustadz Sindu Kusworo, salah satu Pembina Kepramukaan di Pesantren Daarul Uluum, sesaat sebelum keberangkatan.

Isra dan Mi’raj (Bagian 16)

LANGIT KETUJUH

Nabi saw., kemudian, naik ke langit ketujuh (yang terbuat dari batu yāqūt berwarna merah). Jibrīl meminta (gerbang ke langit itu) dibuka. Ditanyakanlah: “Siapa ini?” Jibrīl menjawab: “Jibrīl.” Ditanyakanlah: “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab: “Muhammad.” (Kalimat ta’jub pun) terucap: “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab: “Ya!.”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan): “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara,sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba, Nabi saw. melihat Ibrāhīm al-Khalīl as. duduk di (luar, di dekat, atau di bagian tengah) gerbang surga, di atas satu singgasana (emas) yang sandarannya merekat ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersamanya, ada sekelompok orang dari kaumnya.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Ibrāhīm as. Ia membalas salam itu, lalu berkata: “Selamat datang anak yang saleh dan nabi yang saleh.”

Ibrāhīm as., kemudian, berkata: “Perintahkanlah umatmu agar (menanam dan) memperbanyak tanaman surga. Sungguh, tanahnya subur dan hamparannya luas.” Nabi saw. bertanya: “Apakah tanaman surga itu?” Ia menjawab: “Lā haulā wa lā quwwata illā billāh al- ‘aliyy al-‘azhīm.”

Dalam riwayat lain (diterangkan) bahwa (Ibrāhīm as. berkata): “Sampaikanlah salām dariku kepada umatmu dan kabarilah mereka bahwa surga itu bertanah subur, berair lezat, dan tanamannya adalah (kalimat) “Subhānallāh walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.”

Bersama Ibrāhīm as., duduk sekelompok orang berwajah-wajah putih seperti kertas-kertas dan sekelompok orang lain yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng. Orang-orang yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng itu bangkit, berceburan ke sebuah sungai, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai (lain), lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai lain yang ketiga, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah seluruh warna-warna (wajah mereka dari coreng) sehingga (warna-warna wajah mereka itu) menjadi sama dengan warna-warna (wajah) sahabat-sahabat mereka. Merekapun beranjak, lalu bergabung dengan sahabat-sahabat mereka itu.

Nabi saw. bertanya: “Wahai Jibrīl, siapakah mereka yang berwajah-wajah putih itu? Siapakah mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng? Dan, sungai-sungai apakah yang ke dalamnya orang-orang itu berceburan, lalu mandi?”

Jibrīl menjawab: “Mereka yang berwajah-wajah putih itu adalah sekelompok orang yang tidak mencemari iman mereka dengan perbuatan dosa. Mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng itu adalah sekelompok orang yang melakukan amal saleh, mencemarinya dengan sesuatu (perbuatan dosa), namun mereka bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka.

Adapun sungai-sungai itu, maka yang pertama adalah rahmat Allah, yang kedua adalah nikmat Allah, dan yang ketiga adalah Tuhan Pemelihara mereka memberi mereka minum dengan minuman yang suci.”

Lalu, dikatakanlah (kepada Nabi saw.): “Inilah tempatmu dan tempat umatmu.”

Demikianlah, ada dua (tempat yang disediakan Allah) untuk umat beliau. Satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna putih sehingga mereka) bagaikan kertas-kertas dan satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna) abu.

———-

QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR

———-

Isra dan Mi’raj (Bagian 15)

LANGIT KEENAM

Nabi saw., kemudian, naik ke langit keenam (yang juga terbuat dari emas). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah: “Siapa ini?” Jibrīl menjawab: “Jibrīl.” Ditanyakanlah: “Siapa yang (turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab: “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap: “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab: “Ya!.”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan): “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Nabi saw. berjalan bersama seorang nabi lain, lalu sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama para nabi itu, (turut mengiringi) sekelompok kecil orang (dari suatu kaum, berjumlah di atas tiga orang di bawah sepuluh orang).

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama mereka, (turut mengiringi, sekelompok besar orang dari) suatu kaum.

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan (sejumlah) nabi-nabi lainnya lagi. Namun, bersama mereka, tidak ada (lagi) seorangpun (yang mengiringi).

Nabi saw., kemudian, berjalan bersama sekelompok besar (orang yang demikian banyaknya sehingga, dari kejauhan, terlihat seperti barisan) hitam raksasa, menyesaki cakrawala. Beliau bertanya: “Siapakah rombongan (orang-orang) ini?” Dijawablah: “Mereka adalah Mūsā dan kaumnya.”

Namun, angkatlah kepalamu. Jika (yang engkau lihat) itu adalah sekelompok (barisan) hitam raksasa yang menyesaki cakrawala dari satu sudut ke sudut lainnya dan dari satu penjuru ke penjuru lainnya, maka, dikatakanlah kepada beliau: “Mereka adalah umatmu (yang akan menghadapi pengadilan Allah), kecuali tujuh puluh ribu orang ini yang akan masuk ke dalam surga tanpa (melalui) hisab (pengadilan Allah).”

(Menurut satu riwayat, Nabi saw. memohon kepada Allah agar menambah jumlah umatnya yang akan masuk ke surga tanpa hisab itu. Maka, Allah mengabulkan permohonan itu dengan menambahkan untuk setiap orang dalam tujuh puluh ribu orang itu tujuh puluh ribu orang lagi).

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba (di langit keenam itu), terlihatlah Mūsā Ibn Imrān ra., seorang pria berkulit putih kemerahan, berpostur sangat tinggi, laksana pria-pria dari Qabilah Syanū’ah (sebuah qabilah yang ada di Yaman), dan berbulu lebat. Andai ia memakai dua lapis pakaian, bulu-bulu (di tubuhnya) mampu mengoyak salah satu lapis pakaian itu.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Mūsā. Ia menjawab salam itu, lalu berkata: “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.”

Mūsā as., kemudian, mendoakan kebaikan untuk Nabi saw., lalu bergumam: “Manusia mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan orang ini (yaitu Muhammad saw.). Padahal, ia lebih mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan aku.”

Ketika Nabi saw. meninggalkannya, Mūsā as. menangis. Ditanyakanlah: “Apakah yang membuatmu menangis?”. Ia menjawab: “Aku menangis karena seorang dari masa setelahku (yaitu Muhammad saw.) yang telah diutus (sebagai rasul). Orang yang masuk surga dari umatnya lebih banyak daripada orang yang masuk surga dari umatku. Bani Isrāīl mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah. Padahal orang ini (yaitu Muhammad saw.) adalah keturunan Ādam yang menggantikan aku di dunia, demikian juga aku di akhirat. Walaupun ia tidak menyadari, namun ia bersama umatnya”.

———-

QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR

———-