SIKAP ABU JAHAL DAN PENDUDUK MEKKAH
Menjelang subuh, Nabi saw. menemui sahabat-sahabat beliau di Makkah. Setelah subuh menjelang, beliau diam dan sadar bahwa orang-orang akan mendustakannnya. Maka, duduklah beliau dengan sedih.
Kemudian, melintaslah Abu Jahal, sang musuh Allah, di hadapan beliau. Ia menghampiri, duduk ke dekat beliau, lalu bertanya, “Adakah sesuatu (yang menjadi beban pikiranmu)?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia bertanya, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Aku telah diperjalankan (Allah) tadi malam.” Ia bertanya, “Ke mana?” Beliau menjawab, “Ke Bait al-Maqdis.” Ia berkata, “Kemudian, engkau telah kembali bersama kami pagi ini?” Beliau menjawab, “Ya.”
Abu Jahal tak memperlihatkan diri mendustakan Nabi saw. Ia khawatir bahwa beliau akan menolak untuk bercerita jika ia mengumpulkan orang-orang.
Abu Jahal berkata, “Bagaimana menurutmu jika aku kumpulkan orang-orang dari kaummu? Apakah engkau mau menceritakan kepada mereka apa yang kau ceritakan kepadaku?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu, Abu Jahal pun menyeru, “Hai seluruh Banī Ka’ab Ibn Lu’ay, kemarilah!”
Kerumunan orang terbentuk cepat. Mereka berdatangan, lalu berkumpul di dekat keduanya. Abu Jahal berkata (kepada Nabi saw.), “Ceritakanlah kepada kaummu itu apa yang engkau ceritakan kepadaku!”
Rasulullah saw. berkata, “Sungguh, Allah telah memperjalankanku tadi malam.” Mereka bertanya, “Ke mana?” Beliau menjawab, “Ke Bait al-Maqdis.” Mereka bertanya, “Kemudian, engkau telah kembali bersama kami pagi ini?” Beliau menjawab, “Ya!”
Sebagian orang menepuk tangan, sebagian lagi mengusap-usap kepala karena ta’jub. Mereka riuh dan heran.
Al-Muth’im Ibn ‘Ādī berkata (kepada Nabi saw.), “Sebelum hari ini, segala urusan tentangmu adalah remeh, kecuali ucapanmu hari ini. Aku bersaksi bahwa engkau adalah pembohong! Kami cambuki dada-dada unta untuk pergi ke Bait al- Maqdis, sebulan (perjalanan) ke sana dan sebulan (perjalanan) pulang kembali. Engkau mengira bahwa engkau telah pergi ke sana dalam satu malam? Demi Lātta dan ‘Uzzā, aku tidak memercayaimu!”
Abu Bakar berkata, “Hai Muth’im! Buruk sekali ucapanmu kepada anak saudaramu ini! Kau cemooh dan kau dustakan dia! Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang benar!”
Orang-orang itu berkata, “Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami sifat Bait al-Maqdis itu (jika engkau, memang, pergi ke sana)! Bagaimana bangunannya? Bagaimana keadaannya? Seberapa dekat ia dari gunung (Thūr) itu? Dari kaum(mu) ini, ada orang yang pernah berkunjung ke sana!”
Maka, Nabi saw. menguraikan kepada mereka bahwa bangunannya begini, keadaannya begini, dan kedekatannya dari Gunung (Thūr) sejarak begini.
Nabi saw. terus menguraikan sifat (Baitul Maqdis itu) kepada mereka sehingga sifat (masjid itu mulai) mengabur. Muncullah pada diri beliau kesulitan yang tidak pernah ada sebelumnya. Maka, dihadirkanlah masjid itu (oleh Allah) ke hadapan beliau sehingga beliau dapat melihat mesjid itu (seolah-olah berada) sangat dekat dengan kediaman ‘Aqīl atau ‘Īqāl.
Orang-orang itu bertanya, “Berapakah jumlah pintu masjid (Baitul Maqdis) itu?” Nabi saw. tidak mengetahui berapa jumlahnya, namun beliau dapat melihat (deretan pintu-pintu)nya. Beliau menghitung satu demi satu (pintu-pintu itu), lalu menyampaikan (berapa jumlahnya) kepada mereka. Abu Bakar pun berkata, “Engkau benar, engkau benar! Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah!” Lalu, orang-orang itu berkata, “Sifat (mesjid yang engkau uraikan) itu, demi Allah, adalah benar.”
Kemudian, kepada Abu Bakar, orang-orang itu berkata, “Apakah engkau percaya bahwa dia (Muhammad) pergi malam tadi ke Bait al-Maqdis dan tiba kembali sebelum pagi?” Abu Bakar menjawab, “Ya! Sungguh, aku betul-betul memercayainya, bahkan jika dia (pergi) lebih jauh (dari itu)! Aku memercayainya atas berita langit (yang diterima dan disampaikannya) di pagi hari maupun di sore hari!” Maka, Abu Bakar pun diberi nama as-Shiddīq (yang sangat dipercaya).
Orang-orang itu, kemudian, bertanya, “Hai Muhammad, kabari kami tentang kafilah (dagang) kami?” Nabi saw. menjawab, “Aku menjumpai kafilah Bani Fulān di Ar-Rauhā’ (sebuah daerah berjarak sekitar empat puluh mil dari Madinah). Mereka kehilangan unta, lalu pergi mencarinya. Kudatangi perkemahan mereka. Namun, tak ada seorangpun di dalamnya. Ada sewadah air (di tenda mereka). Akupun minum dari wadah itu.”
“Kusambangi pula kafilah Bani Fulan di tempat ini dan ini. Ada unta merah (di kafilah itu). Di atas punggungnya, ada karung (muatan) hitam dan karung (muatan) putih. Saat (kehadiranku) mengejutkan mereka, unta itu lari terbirit dan memekik. Kafilah itu bercerai berai.”
“Kusambangi pula kafilah Bani Fulān di At-Tan’īm (sebuah daerah yang sudah dekat dengan Makkah) yang dipimpin oleh seekor unta abu-abu. Di atas punggungnya, ada permadani hitam dan dua karung (muatan) berwarna hitam pula. Inilah Kafilah yang akan tiba menemui kalian dari arah Tsaniyyah.” Mereka bertanya (kembali), “Kapan (kafilah lainnya) tiba?” Beliau menjawab, “Hari Rabu.”
Saat hari itu tiba, orang-orang Quraisy naik ke tempat-tempat tinggi, menanti (kedatangan) kafilah tersebut. Siang menjelang, namun kafilah itu tak kunjung tiba. Nabi saw. berdoa.
Ketika siang terus bertambah dan matahari terus meninggi, muncullah kafilah tersebut.
Orang-orang mengamati unta (di kafilah) itu, lalu bertanya, “Apakah kalian kehilangan unta (betina) kalian?” Mereka menjawab, “Ya!” Orang-orang bertanya kepada kafilah lainnya, “Apakah kalian bercerai-berai oleh unta merah kalian?” Mereka menjawab, “Ya!” Orang-orang bertanya, “Apakah kalian memiliki sewadah air?” Seorang pria (dari rombongan itu menjawab), “Aku, demi Allah, sudah menaruhnya. Tidak ada seorangpun dari kami meminumnya, tidak pula ia ditumpahkan ke tanah!”
(Bersambung ke Bagian 26)
QISHSHAH AL-MI’RĀJ
Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.
RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR
* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/05/20/dardir-25/