LANGIT KEENAM
Nabi saw., kemudian, naik ke langit keenam (yang juga terbuat dari emas). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah: “Siapa ini?” Jibrīl menjawab: “Jibrīl.” Ditanyakanlah: “Siapa yang (turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab: “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap: “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab: “Ya!.”
Lalu, terucaplah (kalimat sambutan): “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”
Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.
Nabi saw. berjalan bersama seorang nabi lain, lalu sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama para nabi itu, (turut mengiringi) sekelompok kecil orang (dari suatu kaum, berjumlah di atas tiga orang di bawah sepuluh orang).
Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama mereka, (turut mengiringi, sekelompok besar orang dari) suatu kaum.
Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan (sejumlah) nabi-nabi lainnya lagi. Namun, bersama mereka, tidak ada (lagi) seorangpun (yang mengiringi).
Nabi saw., kemudian, berjalan bersama sekelompok besar (orang yang demikian banyaknya sehingga, dari kejauhan, terlihat seperti barisan) hitam raksasa, menyesaki cakrawala. Beliau bertanya: “Siapakah rombongan (orang-orang) ini?” Dijawablah: “Mereka adalah Mūsā dan kaumnya.”
Namun, angkatlah kepalamu. Jika (yang engkau lihat) itu adalah sekelompok (barisan) hitam raksasa yang menyesaki cakrawala dari satu sudut ke sudut lainnya dan dari satu penjuru ke penjuru lainnya, maka, dikatakanlah kepada beliau: “Mereka adalah umatmu (yang akan menghadapi pengadilan Allah), kecuali tujuh puluh ribu orang ini yang akan masuk ke dalam surga tanpa (melalui) hisab (pengadilan Allah).”
(Menurut satu riwayat, Nabi saw. memohon kepada Allah agar menambah jumlah umatnya yang akan masuk ke surga tanpa hisab itu. Maka, Allah mengabulkan permohonan itu dengan menambahkan untuk setiap orang dalam tujuh puluh ribu orang itu tujuh puluh ribu orang lagi).
Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba (di langit keenam itu), terlihatlah Mūsā Ibn Imrān ra., seorang pria berkulit putih kemerahan, berpostur sangat tinggi, laksana pria-pria dari Qabilah Syanū’ah (sebuah qabilah yang ada di Yaman), dan berbulu lebat. Andai ia memakai dua lapis pakaian, bulu-bulu (di tubuhnya) mampu mengoyak salah satu lapis pakaian itu.
Nabi saw. mengucapkan salam kepada Mūsā. Ia menjawab salam itu, lalu berkata: “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.”
Mūsā as., kemudian, mendoakan kebaikan untuk Nabi saw., lalu bergumam: “Manusia mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan orang ini (yaitu Muhammad saw.). Padahal, ia lebih mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan aku.”
Ketika Nabi saw. meninggalkannya, Mūsā as. menangis. Ditanyakanlah: “Apakah yang membuatmu menangis?”. Ia menjawab: “Aku menangis karena seorang dari masa setelahku (yaitu Muhammad saw.) yang telah diutus (sebagai rasul). Orang yang masuk surga dari umatnya lebih banyak daripada orang yang masuk surga dari umatku. Bani Isrāīl mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah. Padahal orang ini (yaitu Muhammad saw.) adalah keturunan Ādam yang menggantikan aku di dunia, demikian juga aku di akhirat. Walaupun ia tidak menyadari, namun ia bersama umatnya”.
———-
QISHSHAH AL-MI’RĀJ
Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh Iqbal Harafa.
RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM
BOGOR
———-