Berliterasi bersama Santri Membangun Negeri

Dalam rangka DAGRASI Season 3 tahun 2020, pengurus Himpunan santri Daarul Uluum (HISADA) menggelar kegiatan “Workshop Literasi” dengan tema “Berliterasi bersama Santri Membangun Negeri”, pada tanggal 13 Maret 2020. Dengan Pembicara inti, Geovani van Rega (Mang Geo), seorang tokoh literasi nasional, dan peraih penghargaan 2017-2019. Dan Aas Kartini, sosok penggiat literasi, penulis, dan penanggungjawan penegmbangan literasdi Pesantren Daarul Uluum Bogor.

“Ketika membaca dan menuangkan ide untuk menulis hingga berwujud buku hanya satu dari ribuan wujud nyata dari kata literasi, Daarul Uluum Kampus 1 Bantarkemang, Kota Bogor, menghadirkan pakar Literasai nasional, Geovani Van Rega, yang biasa disapa Mang Geo. Bersama beliau menelisik dalam titik bidik yang berbeda dari yang telah dipahami selama ini. Literasi dalam arti luas dan aplikasi dari literasi itu sendiri.” Aas Kartini.

 

Pelatihan Robotic DUSC


Daarul Uluum Science Club (DUSC). Komunitas para santri pencita dan peminat lebih di bidang sain.

Sesi kegiatan kali ini adalah Pelatihan Robotic.


 

Isrā’ dan Mi’rāj 18

SIDRAH AL-MUNTAHĀ

Nabi saw., kemudian, diangkat ke Sidrah al-Muntahā. Di sanalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang naik dari bumi. Di sana pulalah berhenti dan tertahannya semua urusan yang turun dari atas.

(Di tingkat kedelapan ini, beliau naik sampai ke bagian tertinggi di mana terdapat al-Kursī yang terbuat dari mutiara putih).

Sidrah al-Muntahā adalah pohon yang keluarlah dari akarnya sungai-sungai air yang (rasa, warna, dan aromanya) tidak pernah berubah, sungai-sungai susu yang rasa (juga warna dan aroma)nya tidak pernah berubah, sungai-sungai khamr yang (terasa) lezat bagi peminum-peminumnya, dan sungai-sungai madu yang murni.

(Cabang-cabang Sidrah al-Muntahā menjulang di atas langit ketujuh ke bagian perut “langit kedelapan” yang disebut dengan al-Kursī itu).

Seorang penunggang (onta, kuda, atau keledai) akan melintasi bayangan Sidrah al-Muntahā (selama) tujuh puluh tahun tanpa henti (sebagai penggambar atas luasnya area bayangan pohon itu yang kepastiannya hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui).

Buah Sidrah al-Muntahā seperti tempayan-tempayan dari Hajar (sebuah desa di dekat Kota Madinah).

Daun Sidrah al-Muntahā seperti telinga-telinga gajah yang satu lembarnya nyaris dapat memayungi seluruh umat ini. Dalam suatu riwayat (diterangkan bahwa) satu lembar daunnya, bahkan, dapat memayungi seluruh makhluk.

Ada seorang malaikat di setiap lembar daun Sidrah al-Muntahā. Ada pula warna-warna yang menyelubung yang tidak diketahui (warna) apakah itu. Jika suatu amar dari Allah menyelubung, maka bergantilah warna-warna yang menyelubung itu, bahkan, menurut satu riwayat, berubahlah warna-warna itu menjadi (batu-batu) yāqūt dan zabarjad. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menggambarkannya karena demikian indahnya.

Di pohon itu, ada juga pembaringan (yang terbuat) dari emas.

Di bagian akar Sidrah al-Muntahā, ada empat sungai. Dua sungai (diantaranya) adalah “sungai batin” dan dua sungai (lainnya) adalah “sungai zahir.” Nabi saw. bertanya, “Sungai-sungai apakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Dua sungai batin adalah dua sungai yang mengalir di surga (yaitu Sungai al-Kautsar dan Sungai as-Salsabīl. Selain dua sungai itu, mengalir pula di surga tiga sungai lainnya, yaitu Sungai ar-Rayyān, Sungai at-Tasnīm, dan Sungai al-Baidakh), sedangkan dua sungai zahir (adalah dua sungai yang mengalir di dunia) yaitu Sungai Nīl dan Sungai Eufrat.”

Dalam satu riwayat, (diterangkan bahwa) Nabi saw. melihat Jibrīl di Sidrah al-Muntahā dengan enam ratus sayapnya. Masing-masing sayap itu menutup setiap penjuru cakrawala. Setiap kepakan (sayap) itu memendarkan kilauan (batu-batu) durr dan yāqūt (dalam bilangan) yang tidak ada seorangpun mengetahuinya kecuali Allah Yang Maha Tinggi.

(Bersambung ke Bagian 19)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/05/dardir-18/


 

Akhlāq (2)

Akhlāq yang buruk adalah lubang-lubang yang membunuh, penghancur-penghancur yang memusnahkan, kehinaan-kehinaan yang buruk, dan kerendahan-kerendahan yang nyata, juga kotoran-kotoran yang dijauhkan dari sisi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam, yang menjerat pemiliknya ke dalam tali berbagai setan. 

Akhlāq yang buruk merupakan pintu-pintu terbuka ke neraka Allah Ta’ālā yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati, sedangkan akhlāq yang baik merupakan pintu-pintu terbuka di dalam hati menuju ke kenikmatan di surga-surga dan ke sisi Allah Pemberi Kasih.

Akhlāq yang buruk merupakan penyakit-penyakit hati dan jiwa. Itu menjadikannya dapat memusnahkan kehidupan abadi. Manakah di antara penyakit jiwa dan hati itu yang tak menghilangkan kecuali kehidupan jasad, meskipun bertambah-tambah petunjuk dokter-dokter yang diiringi penerapan aturan-aturan pengobatan bagi badan? Padahal, tidak ada apapun di balik penyakit-penyakit badan itu selain kemusnahan kehidupan yang fana.

Maka, petunjuk yang diiringi dengan penerapan aturan-aturan pengobatan penyakit-penyakit hati, hal mana di balik penyakit itu ada kemusnahan kehidupan abadi, adalah prioritas utama (untuk dipelajari dan dimengerti).

Kedokteran jenis terakhir ini wajib dipelajari oleh setiap orang yang berakal. Tidak ada satu pun hati yang akan bersih dari berbagai penyakit jika penyakit-penyakit itu berkembang, bertumpuk, dan saling memperkuat, sehingga penyakit-penyakit itu pun menang.

Seorang hamba membutuhkan ketelitian untuk memahami pengetahuan tentang penyakit-penyakit hati ini dan sebab-sebabnya, lalu menyegerakan pengobatan dan penyembuhannya.

Pengobatan penyakit-penyakit hati itulah yang dimaksud dalam firman Allah swt.: “Sungguh, telah beruntunglah siapa yang menyucikannya (jiwa itu dan mengembangkannya)”, (QS. Asy-Syams, 91:9).

Adapun penumpukan penyakit-penyakit hati, maka itulah yang dimaksud dalam firman Allah swt.: “dan sungguh, merugilah siapa yang memendamnya (yakni menyembunyikan kesucian jiwanya dengan mengikuti nafsu dan godaan setan, atau menghalangi jiwa mencapai kesempurnaan dengan membuat maksiat)”, (QS. Asy-Syams, 91:10).

Bersambung…

—–

Diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa. dari kitab Ihyā ‘Uūmiddīn karya Hujjatul Islām al-Imām al-Ghazālī.

MAJLIS KUBAH LANGIT (MKL), PESANTREN DAARUL ULUUM, BOGOR

 

*Sumber tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2020/03/07/akhlaq-ii/

—–

Isrā’ dan Mi’rāj 17

AL-BAIT AL-MA’MŪR

Nabi saw., kemudian, masuk ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersama beliau, masuk pula orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna putih. Sementara itu, orang-orang yang pada dirinya terkenakan pakaian berwarna abu, (yang turut masuk pula bersama beliau, berada dalam keadaan) terhalang. Namun, mereka berada dalam kebaikan (dari Allah).

Nabi saw., kemudian, shalat bersama orang-orang yang beriman itu di al-Bait al-Ma’mūr.

Al-Bait al-Ma’mūr adalah suatu tempat yang senantiasa dimasuki, setiap harinya, oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak akan kembali lagi ke sana sampai hari kiamat.

Al-Bait al-Ma’mūr berkaki di Ka’bah (yang, karena itu, keduanya berada dalam satu garis). Jika sebuah batu jatuh darinya, maka ia akan jatuh ke atas Ka’bah.

Dalam sebuah riwayat lain (diterangkan bahwa di sinilah) disodorkan kepada Nabi saw. tiga cawan yang telah dijelaskan sebelumnya. Beliau mengambil (cawan berisi) susu. Jibrīl membenarkan apa yang dilakukan olehnya sebagaimana telah dijelaskan, lalu berkata, seperti (diterangkan) dalam suatu riwayat, “Inilah fitrah (Dīn al-Islām) yang di atasnyalah engkau dan umatmu berada.”

(Bersambung ke Bagian 18)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/05/dardir-17/


 

GUDEP 02.340 – 02.341 Minggu Ini


Kegiatan Kepramukaan rutin Pesantren Daarul Uluum minggu ini, tanggal 12 Maret 2020.

Pramuka Ambalan;

1. Ali bin Abi Thalib GUDEP 02.340; dan

2. Fatimah Az-Zahra GUDEP 02.341.

 

Isrā’ dan Mi’rāj 16

LANGIT KETUJUH

Nabi saw., kemudian, naik ke langit ketujuh (yang terbuat dari batu yāqūt berwarna merah). Jibrīl meminta (gerbang ke langit itu) dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa (yang turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat ta’jub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara,sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba, Nabi saw. melihat Ibrāhīm al-Khalīl as. duduk di (luar, di dekat, atau di bagian tengah) gerbang surga, di atas satu singgasana (emas) yang sandarannya merekat ke al-Bait al-Ma’mūr. Bersamanya, ada sekelompok orang dari kaumnya.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Ibrāhīm as. Ia membalas salam itu, lalu berkata, “Selamat datang anak yang saleh dan nabi yang saleh.”

Ibrāhīm as., kemudian, berkata, “Perintahkanlah umatmu agar (menanam dan) memperbanyak tanaman surga. Sungguh, tanahnya subur dan hamparannya luas.” Nabi saw. bertanya, “Apakah tanaman surga itu?” Ia menjawab: “Lā haulā wa lā quwwata illā billāh al- ‘aliyy al-‘azhīm.”

Dalam riwayat lain (diterangkan) bahwa (Ibrāhīm as. berkata), “Sampaikanlah salām dariku kepada umatmu dan kabarilah mereka bahwa surga itu bertanah subur, berair lezat, dan tanamannya adalah (kalimat) “Subhānallāh walhamdu lillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar.”

Bersama Ibrāhīm as., duduk sekelompok orang berwajah-wajah putih seperti kertas-kertas dan sekelompok orang lain yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng. Orang-orang yang pada warna-warna (wajah mereka) terdapat coreng itu bangkit, berceburan ke sebuah sungai, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai (lain), lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah sebagian (coreng) dari warna-warna (wajah mereka).

Mereka, kemudian, berceburan (kembali) ke sebuah sungai lain yang ketiga, lalu mandi di dalamnya. Kemudian, mereka keluar (dari sungai itu) dan bersihlah seluruh warna-warna (wajah mereka dari coreng) sehingga (warna-warna wajah mereka itu) menjadi sama dengan warna-warna (wajah) sahabat-sahabat mereka. Merekapun beranjak, lalu bergabung dengan sahabat-sahabat mereka itu.

Nabi saw. bertanya, “Wahai Jibrīl, siapakah mereka yang berwajah-wajah putih itu? Siapakah mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng? Dan, sungai-sungai apakah yang ke dalamnya orang-orang itu berceburan, lalu mandi?”

Jibrīl menjawab, “Mereka yang berwajah-wajah putih itu adalah sekelompok orang yang tidak mencemari iman mereka dengan perbuatan dosa. Mereka yang di warna-warna (wajahnya) ada coreng itu adalah sekelompok orang yang melakukan amal saleh, mencemarinya dengan sesuatu (perbuatan dosa), namun mereka bertaubat, lalu Allah menerima taubat mereka.”

Adapun sungai-sungai itu, maka yang pertama adalah rahmat Allah, yang kedua adalah nikmat Allah, dan yang ketiga adalah Tuhan Pemelihara mereka memberi mereka minum dengan minuman yang suci.

Lalu, dikatakanlah (kepada Nabi saw.), “Inilah tempatmu dan tempat umatmu.”

Demikianlah, ada dua (tempat yang disediakan Allah) untuk umat beliau. Satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna putih sehingga mereka) bagaikan kertas-kertas dan satu tempat (untuk orang-orang) yang pada dirinya terkenakan pakaian (berwarna) abu.

(Bersambung ke Bagian 17)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-16/



 

Isrā’ dan Mi’rāj 15

LANGIT KEENAM

Nabi saw., kemudian, naik ke langit keenam (yang juga terbuat dari emas). Jibrīl meminta gerbang ke langit dibuka. Ditanyakanlah, “Siapa ini?” Jibrīl menjawab, “Jibrīl.” Ditanyakanlah, “Siapa yang (turut serta) bersamamu itu?” Jibrīl menjawab, “Muhammad.” (Kalimat takjub pun) terucap, “Jadi, dia (Jibrīl) telah diutus kepadanya (untuk menjemput)?” Jibrīl menjawab, “Ya!”

Lalu, terucaplah (kalimat sambutan), “Selamat datang untuknya (Muhammad)! Selamat datang! Semoga Allah menghidupkannya (yaitu memuliakan, mengagungkan, dan memanjangkan hidupnya) sebagai saudara (seiman) dan sebagai wakil Allah (dalam menyampaikan hukum-hukum-Nya). Sebaik-baik saudara, sebaik-baik wakil Allah, dan sebaik-baik pengunjung, telah datang!”

Maka, terbukalah (gerbang langit itu) untuk mereka berdua.

Nabi saw. berjalan bersama seorang nabi lain, lalu sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama para nabi itu, (turut mengiringi) sekelompok kecil orang (dari suatu kaum, berjumlah di atas tiga orang di bawah sepuluh orang).

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan sejumlah nabi-nabi lainnya lagi. Bersama mereka, (turut mengiringi, sekelompok besar orang dari) suatu kaum.

Lalu, (beliau berjalan lagi) bersama seorang nabi lain dan (sejumlah) nabi-nabi lainnya lagi. Namun, bersama mereka, tidak ada (lagi) seorangpun (yang mengiringi).

Nabi saw., kemudian, berjalan bersama sekelompok besar (orang yang demikian banyaknya sehingga, dari kejauhan, terlihat seperti barisan) hitam raksasa, menyesaki cakrawala. Beliau bertanya: “Siapakah rombongan (orang-orang) ini?” Dijawablah: “Mereka adalah Mūsā dan kaumnya.”

Namun, angkatlah kepalamu. Jika (yang engkau lihat) itu adalah sekelompok (barisan) hitam raksasa yang menyesaki cakrawala dari satu sudut ke sudut lainnya dan dari satu penjuru ke penjuru lainnya, maka, dikatakanlah kepada beliau, “Mereka adalah umatmu (yang akan menghadapi pengadilan Allah), kecuali tujuh puluh ribu orang ini yang akan masuk ke dalam surga tanpa (melalui) hisab (pengadilan Allah).”

(Menurut satu riwayat, Nabi saw. memohon kepada Allah agar menambah jumlah umatnya yang akan masuk ke surga tanpa hisab itu. Maka, Allah mengabulkan permohonan itu dengan menambahkan untuk setiap orang dalam tujuh puluh ribu orang itu tujuh puluh ribu orang lagi).

Saat Nabi saw. dan Jibrīl tiba (di langit keenam itu), terlihatlah Mūsā Ibn Imrān ra., seorang pria berkulit putih kemerahan, berpostur sangat tinggi, laksana pria-pria dari Qabilah Syanū’ah (sebuah qabilah yang ada di Yaman), dan berbulu lebat. Andai ia memakai dua lapis pakaian, bulu-bulu (di tubuhnya) mampu mengoyak salah satu lapis pakaian itu.

Nabi saw. mengucapkan salam kepada Mūsā. Ia menjawab salam itu, lalu berkata: “Selamat datang saudara yang saleh dan nabi yang saleh.”

Mūsā as., kemudian, mendoakan kebaikan untuk Nabi saw., lalu bergumam, “Manusia mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan orang ini (yaitu Muhammad saw.). Padahal, ia lebih mulia di hadapan Allah dibandingkan dengan aku.”

Ketika Nabi saw. meninggalkannya, Mūsā as. menangis. Ditanyakanlah, “Apakah yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku menangis karena seorang dari masa setelahku (yaitu Muhammad saw.) yang telah diutus (sebagai rasul). Orang yang masuk surga dari umatnya lebih banyak daripada orang yang masuk surga dari umatku. Bani Isrāīl mengira bahwa aku adalah keturunan Ādam yang paling mulia di hadapan Allah. Padahal orang ini (yaitu Muhammad saw.) adalah keturunan Ādam yang menggantikan aku di dunia, demikian juga aku di akhirat. Walaupun ia tidak menyadari, namun ia bersama umatnya.”

(Bersambung ke Bagian 16)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/04/02/dardir-15/