Isrā’ dan Mi’rāj 07

(7)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan sekelompok orang yang lidah-lidah dan bibir-bibir mereka sedang dipotong dengan gunting-gunting besi. Setiap kali terpotong, (lidah dan bibir mereka itu) kembali (utuh) seperti sedia kala. Tidak ada (seorang atau suatu apapun) yang dapat menghindarkan mereka (dari siksaan itu).

Nabi saw. bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Mereka semua adalah pekhutbah-pekhutbah yang menyebarkan tipu daya, yaitu pekhutbah-pekhutbah dari umatmu yang menyampaikan apa yang mereka sendiri tidak melaksanakannya.”

(8)

Nabi saw., kemudian, melewati sekelompok orang yang (jari-jari tangan mereka) memiliki kuku-kuku tembaga. Dengan kuku-kuku tembaga itu, mereka menyakari wajah-wajah dan dada-dada mereka sendiri (hingga robek).

Nabi saw. bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging sesama manusia dan menghancurkan kehormatan mereka (dengan cara menyebarkan aib dan keburukan).”

(9)

Nabi saw., kemudian, melihat sebuah lubang kecil yang darinya keluar seekor sapi jantan yang sangat besar. Sapi itu ingin kembali ke lubang dari mana ia keluar, namun ia tidak dapat (melakukannya).

Nabi saw. bertanya, “Apakah (yang sedang kulihat) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah seorang pria dari umatmu yang mengucapkan suatu kata yang (mengakibatkan terjadinya suatu bencana) sangat besar. Ia menyesali ucapannya itu, namun ia tidak dapat menariknya kembali.”

(10)

Saat Nabi saw. sedang melaju, ada seseorang, tiba-tiba, memanggil beliau dari sebelah kanan: “Wahai Muhammad, lihatlah aku! Kumohon!”

Nabi saw. tidak menjawab panggilan itu. Beliau bertanya, “Apakah (yang memanggilku) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah (panggilan) seorang penyeru Yahudi. Adapun engkau, jika engkau menjawab (panggilan)nya, maka umatmu benar-benar akan menjadi (penganut agama) Yahudi.”

(11)

Kemudian, saat Nabi saw. (kembali) melaju, ada seseorang, tiba-tiba, memanggil beliau dari sebelah kiri, “Wahai Muhammad, lihatlah aku! Kumohon!”

Nabi saw. tidak menjawab panggilan itu. Beliau bertanya, “Apakah (yang memanggilku) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah (panggilan) seorang penyeru Nashrani. Adapun engkau, jika engkau menjawab (panggilan)nya, maka umatmu benar-benar akan menjadi (penganut agama) Nashrani.”

(12)

Kemudian, saat Nabi saw. (kembali) melaju, muncullah, tiba-tiba, sesosok wanita yang kedua lengannya terbuka. Tubuhnya dihiasi dengan aneka perhiasan yang diciptakan Allah swt. Wanita itu berkata, “Wahai Muhammad, tataplah aku! Kumohon!”

Nabi saw. tidak sedikipun menoleh (baik kepala, mata, atau hati) ke arah wanita itu. Beliau bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Dialah dunia. Adapun engkau, jika engkau menjawab (sapaan)nya, maka umatmu niscaya lebih memilih dunia daripada akhirat.”

(13)

Kemudian, pada saat Nabi saw. (kembali) melaju, muncullah, tiba-tiba, sesosok kakek yang memanggil beliau di jalan, seraya menyapa, “Kemarilah, wahai Muhammad!” Jibrīl menukas, “Tetaplah melaju, wahai Muhammad!” Beliau bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Inilah Iblis, si musuh Allah. Dia ingin engkau ikut dengannya!”

(14)

Nabi saw. telah melaju (kembali) ketika muncul sesosok nenek jompo di tepi jalan. Ia memanggil beliau, “Wahai Muhammad, lihatlah aku! Kumohon!”

Nabi saw. tidak sedikitpun menoleh ke arah nenek jompo itu. Beliau bertanya, “Siapakah ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Sungguh, dia adalah (gambaran bahwa) umur dunia tidak lagi bersisa kecuali (seperti) sisa umur nenek jompo ini.”

(Bersambung ke Bagian 08)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: https://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/24/dardir-07/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 06

BERBAGAI PENAMPAKAN

(1)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan sekelompok orang yang kepala-kepalanya sedang dihantami (dengan batu sampai hancur). Setiap kali terhantam (hancur), (kepala-kepala mereka itu) kembali (utuh) seperti sedia kala. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membebaskan mereka dari siksaan itu.

Nabi saw. bertanya, “Wahai Jibrīl, siapakah mereka?” Jibrīl menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang kepala-kepalanya berat untuk melaksanakan shalat wajib.”

(2)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan sekelompok orang yang di kelamin-kelaminnya tertancap penyumpal dan di dubur-duburnya tertancap penyumpal pula.

Orang-orang itu merangkak seperti unta dan domba, lalu melahap pohon dharī’ (yaitu pohon berduri, kotor, dan berbau busuk sehingga hewan-hewan pun menjauhinya), melahap buah zaqūm (yaitu buah-buahan yang rasa haus dan lapar, justru, akan menghebat jika seseorang memakannya, dan –menurut al-Ajhūrī– berasal dari pohon yang berada di neraka yang penghuninya pun enggan memakannya), dan melahap batu-batu serta kerikil-kerikil membara (yang berasal dari neraka) Jahannam.

Nabi saw. bertanya, “Siapakah mereka, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menunaikan sedekah (yang diwajibkan) atas hartanya. (Ingatlah!) Allah tidak pernah menzalimi mereka sedikitpun!”

(3)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan sekelompok orang yang, di hadapan mereka, ada (hidangan) daging yang masih baik di atas sebuah nampan dan ada seonggok daging lain yang mentah dan busuk. Mereka memakan (onggokan daging) yang mentah dan busuk itu, lalu menyingkirkan (hidangan daging) yang masih baik dan lezat.

Nabi saw. bertanya, “Apakah (yang sedang kusaksikan) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Inilah seorang pria dari umatmu yang memiliki istri yang halal dan sah, namun ia mendatangi wanita lain yang tidak sah, lalu tidur bermalam dengannya sampai pagi. (Ini pun adalah) seorang wanita (dari umatmu) yang dimiliki suaminya secara halal dan sah, namun ia mendatangi pria lain yang tidak halal, lalu tidur bermalam dengannya sampai pagi.”

(4)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan sebatang kayu (yang melintang) di jalan. Tidak ada selembar baju atau apapun (yang dikenakan seseorang) yang melewati, kecuali dirobeknya.

Nabi saw. bertanya, “Apakah (yang sedang kulihat) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah perumpamaan sekelompok orang dari umatmu yang duduk-duduk di jalan sehingga mereka pun menyumbatnya (yang, karena itu, orang-orang pun tidak dapat melintas).”

Jibrīl, kemudian, membaca, “Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan (menuju kebaikan dunia dan akhirat, dengan maksud) menakut-nakuti dan menghalang-halangi (siapa) yang beriman dari jalan Allah.” (al-A’raf, 7:86).

(5)

Nabi saw., kemudian, melihat seorang pria yang sedang berenang di sebuah sungai darah seraya dilempari batu-batu.

Nabi saw. bertanya, “Apakah (yang sedang kulihat) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab: “Dia adalah seorang pemakan riba.”

(6)

Nabi saw., kemudian, bertemu dengan seorang pria yang telah mengumpulkan setumpuk kayu bakar. Pria itu tak mampu memikul tumpukan kayu bakar itu, namun ia (malah) menambah (kayu bakar lain) ke tumpukannya.

Nabi saw. bertanya, “Apakah (yang sedang kutemui) ini, wahai Jibrīl?” Jibrīl menjawab, “Dia adalah seorang pria dari umatmu yang mendapat banyak amanat dari orang lain. Ia tak mampu menunaikannya. Namun, ia selalu menginginkannya.”

(Bersambung ke Bagian 07)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: https://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/dardir-06/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 05

PENATA RAMBUT PUTRI FIR’AUN

Nabi saw., kemudian, mencium aroma wangi. Beliau bertanya, “Wahai Jibrīl, aroma apakah ini?” Jibrīl menjawab, “Ini adalah aroma seorang wanita penata rambut putri Fir’aun dan anak-anaknya.”

Ketika wanita penata rambut itu sedang menata rambut putri Fir’aun, jatuhlah, tiba-tiba, sisirnya. Ia pun berseru, “Bismillāh, binasalah Fir’aun!”

Sang putri Fir’aun bertanya, “Apakah engkau memiliki tuhan pemelihara selain ayahku?” Wanita itu menjawab, “Ya!” Sang putri pun berkata, “Kulaporkan sajakah hal itu kepada ayahku?” Wanita itu menjawab, “Silahkan!”

Maka, sang putri Fir’aun melaporkan hal itu kepada ayahnya. Fir’aun, kemudian, memanggil wanita penata rambut itu, lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki tuhan pemelihara selain aku?” Wanita itu menjawab, “Tuhan Pemeliharaku dan Tuhan Pemeliharamu adalah Allah!”

Wanita penata rambut itu memiliki dua orang anak (ditambah seorang bayi yang masih menyusui) dan seorang suami (yang bekerja sebagai pengawal).

Fir’aun mengirim (sejumlah pengawal lain) kepada mereka (untuk menangkap). Fir’aun, kemudian, membujuk wanita penata rambut itu dan suaminya agar meninggalkan agama mereka. Namun, keduanya menolak.

Fir’aun pun berkata, “Sungguh! Akan kubunuh kalian berdua!” Wanita penata rambut itu menjawab, “Itu lebih baik untuk kami. Jika engkau telah membunuh kami, satukanlah kami dalam satu makam sehingga engkau dapat menguburkan kami semua, bersama-sama, di dalamnya.” Fir’aun berkata, “Akan kami penuhi itu untukmu (sebagai balasan) atas segala pengabdianmu kepada kami.”

Maka, Fir’aun memerintahkan (disiapkannya) sebuah belanga besar berbahan tembaga. Lalu, dididihkanlah (minyak di dalamnya).

Fir’aun, kemudian, memerintahkan agar wanita penata rambut itu dan anak-anaknya (juga suaminya) menceburkan diri ke dalam belanga itu. Maka, mereka pun menceburkan diri (ke dalam belanga itu), seorang demi seorang, hingga tibalah (giliran) anak terkecil dari mereka (yaitu bayi berusia tujuh bulan) yang masih menyusu.

Sang bayi berkata, “Oh, ibu, lompatlah engkau (ke dalam belanga itu) dan jangan meragu karena engkau, sungguh, berada dalam kebenaran.”

Maka, menceburkan dirilah wanita penata rambut itu (ke dalam belanga, menyusul) semua anaknya (juga suaminya).

Ada empat (bayi yang mampu berbicara dan berkata-kata secara menakjubkan saat) dalam pangkuan, padahal mereka masih kecil, yaitu: (bayi wanita penata rambut putri Fir’aun) ini, (bayi yang menjadi) saksi (dalam kasus Nabi) Yūsuf, (bayi yang menjadi) penolong Juraij (seorang pemuda saleh di masa Nabi ‘Īsā), dan (bayi bernama) Īsā Ibn Maryam.

(Bersambung ke Bagian 06)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: https://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/dardir-05/

Isrā’ dan Mi’rāj 04

JIN ‘IFRĪT

Saat Nabi saw. melaju di atas Burāq, beliau melihat, tiba-tiba, jin ‘Ifrīt mengejar beliau, seraya membawa seobor api. Setiap kali menoleh (ke belakang), beliau melihatnya.

Jibrīl berkata: “Tidakkah kuajarkan saja kepadamu beberapa kalimat yang dapat engkau ucapkan? Jika engkau mengucapkannya, niscaya padamlah obor ‘Ifrīth itu dan jatuh tersungkurlah dia.” Rasulullah saw. menjawab: “Ya!”. Jibrīl pun berkata: “Ucapkanlah olehmu:

أَعُوْذُ بِوَجْهِ اللهِ الْكَرِيْمِ وَبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ، الَّتِي لاَيُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلاَفَاجِرٌ، مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَآءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيْهَا، وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فىِ الْأَرْضِ وَمِن شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِلاَّ طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ، يَارَحْمَنُ.

“Aku berlindung kepada Kemahakuasaan Allah Yang Maha Mulia dan kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna, yang tidak ada seorang pelaku kebajikan atau seorang pelaku keburukan pun dapat melampauinya, dari suatu keburukan yang turun dari langit maupun suatu keburukan yang naik ke sana, dari suatu keburukan yang ada di atas bumi maupun suatu keburukan yang muncul dari (dalam perut)nya, dari bencana-bencana malam maupun siang, dan dari segala yang mengetuk dan datang pada malam maupun siang, kecuali suatu pengetuk kebajikan. Wahai (Allah) Sang Pemberi Kasih.”

Maka, ‘Ifrīt pun jatuh tersungkur dan padamlah obornya.

Mereka (yaitu Jibrīl, Nabi saw., dan Mīkāīl) terus melaju hingga bertemu dengan sekelompok orang yang sedang bercocok tanam dalam sehari, lalu memanen (hasilnya) dalam sehari pula. Setiap kali mereka selesai memanen, berulanglah apa yang sudah terjadi (sebelumnya).

Nabi saw. bertanya: “Wahai Jibrīl, apakah (yang kusaksikan) ini?” Jibrīl menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah Yang Maha Tinggi. Kebaikan untuk mereka dilipatgandakan sebanyak tujuh ratus kali. Apapun yang mereka nafkahkan (di jalan Allah), maka Dia langsung menggantinya.”

(Bersambung ke Bagian 05)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/dardir-04/


 

Isrā’ dan Mi’rāj 03

ISRĀ’

Bertolaklah Jibrīl, (Mīkāīl, dan Nabi saw.) dengan Burāq. Jibrīl (berada) di sebelah kanan hewan itu dan Mīkāīl di sebelah kirinya. Menurut Ibn Sa’ad, Jibrīl menjadi pengarah Burāq dan Mīkāīl (menjadi pemegang) tali kekangnya.

Mereka melaju hingga tiba di sehampar tanah (subur) yang ditumbuhi (pohon) kurma. Jibrīl berkata kepada Nabi saw.: “Turunlah engkau dan shalatlah (dua rakaat) di sini.” Beliau melaksanakan (perintah) itu, lalu naik (kembali ke atas Burāq). Jibrīl bertanya: “Tahukah engkau di mana tadi engkau melaksanakan shalat?,” Beliau menjawab: “Tidak.” Jibrīl berkata: “Engkau melaksanakan shalat di Thaybah (al-Madīnah al-Munawwarah). Ke kota itulah hijrah (akan terjadi).”

Burāq bertolak, melesat bersama Nabi saw., menjejakkan telapaknya ke sudut (terjauh) yang mampu dicapai pandangannya. Lalu, Jibrīl berkata: “Turunlah engkau dan shalatlah (dua rakaat) di sini.” Beliau melaksanakan (perintah itu), lalu naik (kembali ke atas Burāq). Jibrīl bertanya: “Tahukah engkau di mana tadi engkau melaksanakan shalat?,” Beliau menjawab: “Tidak.” Jibrīl berkata: “Engkau melaksanakan shalat di Madyan (suatu desa di Syām), di dekat pohon (yang menjadi tempat peristirahatan) Mūsā (setelah ia meninggalkan Mesir karena menghindari kejaran Fir’aun).”

Burāq bertolak kembali, melesat bersama Nabi saw. Kemudian, Jibrīl berkata: “Turunlah engkau dan shalatlah kembali (dua rakaat).” Beliau melaksanakan (perintah itu), lalu naik (kembali ke atas Burāq). Jibrīl bertanya: “Tahukah engkau di mana tadi engkau melaksanakan shalat?,” Beliau menjawab: “Tidak.” Jibrīl berkata: “Engkau melaksanakan shalat di Bukit Sinai (Syām), tempat di mana Allah berbicara kepada Mūsā.”

Kemudian, sampailah Nabi saw. di sebuah daerah. Tampak, di hadapan beliau, gedung-gedung megah negeri Syām. Jibrīl berkata: “Turunlah engkau dan shalatlah kembali (dua rakaat).” Beliau melaksanakan (perintah itu), lalu naik (kembali ke atas Burāq).

Burāq itu bertolak (kembali), melesat bersama Nabi saw. Lalu, Jibrīl bertanya: “Tahukah engkau di mana tadi engkau melaksanakan shalat?,” Beliau menjawab: “Tidak.” Jibrīl berkata: “Engkau melaksanakan shalat di Bayt al-Lahm (Betlehem), tempat di mana ‘Īsā Ibn Maryam dilahirkan.”

(Bersambung ke Bagian 04)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/dardir-03/

Isrā’ dan Mi’rāj 02

BURĀQ

Jibrīl, kemudian, menghadirkan seekor Burāq yang berpelana (terbuat dari mutiara) dan bertali kekang (terbuat dari batu yāqūt merah. Di antara kedua mata Burāq itu, terdapat dua baris tulisan: baris pertama “Lā Ilā Illallāh,” dan baris kedua “Muhammad Rasūlullāh”).

Burāq adalah hewan berwarna putih, (bukan jantan, bukan pula betina, dikirim Allah dari surga, dan, karena itu, ia adalah hewan dari alam ghaib). Tingginya melebihi keledai, namun lebih rendah dari baghal (yaitu hewan hasil persilangan kuda-keledai).

Burāq selalu menjejakkan telapak (kedua kaki depan dan belakang)nya di ujung terjauh pandangan mata dan selalu mengibas-ngibaskan kedua telinga (sebagai isyarat besarnya kekuatan sang hewan).

Jika Burāq mendaki sebuah gunung, kedua kaki belakangnya meninggi. Namun, jika ia menuruninya, kedua kaki depannyalah yang meninggi.

Burāq pun memiliki dua sayap (yang sifatnya sama sekali berbeda dengan sayap pada burung di alam dunia) di kedua pahanya (yang juga berbeda sifatnya dengan paha yang dimiliki oleh hewan berkaki empat di alam dunia). Dengan kedua sayap itu, (semakin) bertambahlah (kekuatan) kedua kaki belakangnya.

Sang Burāq menatap marah (dan memberontak saat ia dibawa) ke hadapan Nabi saw. Jibrīl meletakkan tangannya di muka hewan itu, lalu berkata: “Tidakkah engkau malu, wahai Burāq? Demi Allah, tidak akan ada seorangpun makhluk paling mulia di hadapan Allah yang akan menunggangimu selain dirinya (Muhammad saw.)!”

Sang Burāq pun malu, sampai-sampai, keringatnya mengucur-deras. Maka, ia pun menjadi tenang sehingga Nabi saw. dapat menaikinya.

Para nabi terdahulu pernah menaiki Burāq. Sa’īd Ibn al-Musayyab (salah seorang tokoh dari generasi tābi’īn) dan sejumlah orang lainnya menuturkan: “Ia adalah hewan Ibrāhīm as. Dengan mengendarai Burāq, Ibrāhīm as. (berangkat dari Syām menuju) ke al-Bait al-Haram (untuk menjenguk Ismā’īl as, sang anak, dan Hājar, sang istri, yang ditinggalkannya di sana atas perintah Allah).”

Bertolaklah Jibrīl, (Mīkāīl, dan Nabi saw.) dengan Burāq itu. Jibrīl (berada) di sebelah kanan hewan itu dan Mīkāīl di sebelah kirinya. Menurut Ibn Sa’ad, Jibrīl menjadi pengarah Burāq dan Mīkāīl (menjadi pemegang) tali kekangnya.

(Bersambung ke Bagian Ke-3)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/dardir-02/

Isrā’ dan Mi’rāj 01

PENDAHULUAN

 

Bismillāhir rahmānir rahīm.

Saat Nabi Muhammad saw. berada di Hijir (Isma’īl), Baitullāh, berbaring-miring di antara dua pria, (yaitu Hamzah, pamannya, dan Ja’far Ibn Abī Thālib, anak pamannya), datanglah, tiba-tiba, Jibrīl dan Mīkāīl. Bersama kedua malaikat itu, turut seorang malaikat lain (yaitu Isrāfil, yang diiringi juga oleh sejumlah malaikat lainnya).

Para malaikat itu membopong Nabi saw. (secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan Hamzah dan Ja’far) ke sumur Zamzam, lalu . Mereka merebahkan beliau dalam posisi telentang. Jibrīl, selanjutnya, memimpin (urusan berikutnya) atas diri beliau (dari para malaikat lain).

Dalam satu riwayat lain, (diterangkan bahwa Nabi saw. bersabda:) “Tersibaklah (di malam itu) atap rumahku (yaitu rumah Ummu Hānī Binti Abī Thālib, yang memiliki nama asli Fākhitah, ‘Ātikah, atau Hindun), lalu turunlah Jibrīl”.

Jibril membedah dada Nabi saw. (dengan serangkaian cara yang menakjubkan, yang hanya mungkin terjadi karena mukjizat dari Allah, tidak menimbulkan rasa sakit sedikit pun, dan berlangsung sangat cepat, serta, menurut riwayat yang paling shahih, tidak menggunakan suatu alat apapun) dari mulai bagian atas hingga ke bagian terbawah perut (atau, menurut sejumlah riwayat, hingga ke bagian pusar).

Jibrīl, kemudian, berkata kepada Mīkāīl: “Bawakanlah kepadaku satu bejana air Zamzam agar dapat kusucikan hatinya dan kulapangkan dadanya!”.

Maka, Jibril pun mengeluarkan hati Nabi saw., mencucinya sebanyak tiga kali, lalu membuang gumpalan darah hitam darinya (yang menjadi tempat persemayaman syetan). Sementara itu, Mīkāīl hilir mudik, membawakan kepadanya tiga bejana air Zamzam.

Míkāīl, kemudian, membawa sebuah bejana emas yang telah dipenuhi oleh “hikmah” (kebijaksanaan) dan “iman” (keimanan). Jibrīl menuangkan keduanya ke dalam dada Nabi saw., lalu memenuhkannya dengan “hilm” (kesabaran), “‘ilm” (pengetahuan), “yaqīn” (keyakinan), dan “islam” (keislaman).

Jibrīl, kemudian, menutup kembali dada Nabi saw., lalu mencap (bagian tubuh) di antara kedua bahu beliau dengan cap (penanda telah berakhirnya) kenabian.

(Bersambung ke Bagian Ke-2)


QISHSHAH AL-MI’RĀJ

Ditulis oleh al-‘Allāmah Najmuddīn al-Ghaythī, diperinci oleh Abī al-Barakāt as-Sayyid Ahmad ad-Dardīr, dan diterjemahkan oleh al-Ustādz Iqbal Harafa.

RAJABAN
DI PESANTREN DAARUL ULUUM BOGOR
BOGOR

* Sumber Tulisan: http://iqbalharafa.daarululuum.co.id/2018/03/23/ngaji-isra-dan-miraj-01/